Tinggal sendiri di rumah, Mbah Rebo kukuh tak mau mengungsi saat bencana banjirSelasa (5/1) dan Rabu (6/1) malam lalu. Lansia yang juga buta itu bersikeras tetap berada di rumahnya karena tak ingin merepotkan warga.
IQBAL SYAHRONI, SKOMORO, JP Radar Nganjuk
Hujan rintik mengguyur Kelurahan Kapas, Kecamatan Sukomoro sekitar pukul 13.30 kemarin. Suara gemericik air pun terdengar jelas di rumah Rebo. Lansia yang tinggal di Lingkungan Santren, Kelurahan Kapas, Sukomoro itu tengah duduk di dipan kamarnya. “Aman, tidak bocor!” ujar lelaki berkaus hitam yang pendengarannya terganggu itu dengan lantang.
Setiap kali berbicara dengan orang, Rebo memang terbiasa “berteriak”. Koran ini pun harus mengimbangi dengan suara keras agar dia bisa mendengar. Tak ayal, wawancara kemarin siang jadi perhatian tetangga karena percakapan bisa didengar dengan jelas oleh mereka.
Seolah cuek, Rebo pun menceritakan bencana banjir yang selalu dialami setiap musim hujan itu. “Selalu banjir dari dulu, terendam terus rumah saya,” terang lelaki yang mengaku lahir tahun 1933 itu dengan entengnya.
Seperti saat banjir Rabu (6/1) malam, Rebo yang sudah kesulitan beraktivitas itu selalu menolak untuk diungsikan. Dia mengaku akan lebih kesulitan beraktivitas saat berada di luar rumahnya.
Salah satu yang membuatnya bingung adalah saat ingin buang air kecil. “Saya tidak mau merepotkan orang-orang,” tuturnya.
Rebo memang memilih hidup mandiri. Meski memiliki kerabat yang tinggal di dekat rumahnya, dia tetap memilih tinggal sendiri. Suatu kali, dia pernah digendong untuk diungsikan di rumah Mujiati, 33, kerabatnya.
Dia masih ingat betul bagaimana kerepotan perangkat desa dan relawan saat harus mengevakuasi dirinya. Karena itu, Rebo tak ingin kejadian serupa terulang. “Sudah lama di sini (di rumahnya, Red),. Hidup dan mati ya disini terus saja,” beber lelaki berambut putih ini.
Berteman ayam jago yang duduk di atas kursi ruang tamunya, Rebo tetap terlihat santai. Pun dia tak tahu ayam milik siapa yang siang itu berani masuk ke dalam rumahnya.
Jika dulu dia memelihara banyak ayam, sekarang dia nyaris tidak bisa lagi beternak. Praktis hari-harinya hanya dihabiskan di kasur. Terutama, sejak dia divonis buta tiga bulan lalu.
Untuk sekadar berjalan pun dia harus meraba-raba. Baik saat menuju ke kamar mandi atau hanya berjalan di sekitar rumah. “Kalau makan dibikinkan ponakan saya (Mujiati, Red), mandi sudah bisa sendiri tidak perlu diantar,” paparnya.
Mendengar penjelasan pamannya itu, Mujiati yang belakangan nimbrung mengaku nelangsa. Dia pun tak bisa berbuat banyak atas keteguhan hati lansia tersebut.
Menurutnya, sang paman baru sekali mengungsi. Yakni, saat banjir 2020 lalu. Saat itu ketinggian air memang mencapai sekitar 60-70 sentimeter. Hampir mengenai bagian kasur. “Lha gimana to, Mas, diajak tidak mau, pas agak dipaksa agar ke rumah saya ini juga menolak terus,” keluhnya.
Pemaksaan itu dihentikan karena memang usia Rebo yang sudah tua. Mereka khawatir Rebo malah berontak dan akan membahayakannya. Sehingga warga memilih menuruti kemauan Rebo.
Meski demikian, saat banjir dia selalu ditemani warga. Apalagi, dia tinggal di rumah tua yang rusak. “Bahaya kalau sendiri,” jelasnya.
Prihatin dengan nasib yang menimpa pamannya, Mujiati pun bergantian menengok Rebo dengan Mulyono, sang kakak. Terutama selama dua hari terakhir atau saat banjir melanda lingkungan mereka. Dia memastikan apakah kerabatnya itu sudah tidur atau belum. “Kondisi pas banjir malam, sudah tiduran. Padahal air setinggi lutut masuk ke dalam rumah,” kata perempuan berkaus biru itu heran.
Keesokan harinya Mujiati ganti terkekeh melihat pria tua itu justru berjalan jalan di dalam rumahnya sembari bermain air bah. “Saya minta berhenti dulu, saya bawakan sarapan dan kopi,” kenangnya sambil tersenyum.