Masjid Auliya’ menjadi salah satu ‘peninggalan’ Mbah Wasil. Memang, sang wali tak membangunnya langsung. Namun, semangat sang penyebar Islam itulah yang membuat masjid tersebut berdiri hingga sekarang.
IQBAL SYAHRONI, Kota, JP Radar Kediri
Dua puluh meter dari makam Mbah Wasil kemegahan Masjid Auliya’ Setonogedong bisa dilihat. Berdiri megah dengan tiga lantai, masjid ini memiliki warna dominan cokelat muda. Dengan kubah besar berwarna hijau.
Bila malam hari, masjid yang berdiri di tanah seluas 400 meter persegi ini bersiram cahaya lampu. Menjadikannya bersinar terang. Ditambah lagi, pada bagian luar, ada lampu warna-warni yang jadi penghias.
Masjid yang mampu menampung 300-an jemaah ini merupakan salah satu warisan dari ulama bernama asli Syekh Sulaiman Syamsuzein Ali ini. Memang, tidak ada campur tangan Mbah Wasil dalam proses pembangunan masjid. Hanya, semangat yang diwariskan oleh tokoh ini yang membuat masjid ini berdiri hingga sekarang.
Berdasarkan catatan sejarah, pada 1897 masehi, halaman Makam Setonogedong mulai digunakan untuk beribadah oleh warga sekitar. Atau, ratusan tahun setelah Mbah Wasil dimakamkan di tempat ini.
“Dulunya masih beralas tanah. Lalu menjadi gubuk,” cerita Juru Kunci Setonogedong M. Yusuf Wibisono.
Jauh sebelum digunakan tempat beribadah, gubuk itu hanya menjadi tempat istirahat. Biasanya, warga yang datang berziarah memanfaatkan gubuk tersebut. Bila salat, mereka bergantian.
“Juga ada cerita dahulu tempat tersebut digunakan untuk syiar agama dari warga sekitar juga. Sehingga cikal bakal pembangunan tersebut, sebenarnya untuk dan dari warga sekitar,” imbuh Yusuf.
Gubuk tersebut juga sering disebut masjid tiban. Nama tiban itu sekarang merujuk pada sumur tua di sebelah utara situs.
Pada 1967 barulah dibangun masjid. Tempatnya di depan masjid tiban, atau di sisi timurnya. Dulu, tanah tempat berdirinya masjid ini dikelola warga. Sekarang sudah dijadikan tanah negara. Masjidnya pun menjadi salah satu cagar budaya di Kota Kediri.
Selain sejarahnya, Masjid Auliya’ Setonogedong punya keunikan dalam arsitektur maupun ornamennya. Hiasan pada masjid tersebut campuran antara ornament Arab dan Jawa kuno. Itulah yang menjadikan masjid ini menjadi simbol kerukunan antar-umat.
“Mengingat dahulunya kan saat zaman kerajaan, saat beliau (Mbah Wasil, Red) datang. Ini masih berada di zaman pemerintahan Sri Aji Jayabaya, yang masyarakatnya saat itu mayoritas Hindu,” imbuh Yusuf.(fud)