23.1 C
Kediri
Tuesday, March 21, 2023

UMK Nganjuk Kecil, Sulit Cari Karyawan Lokal

- Advertisement -

NGANJUK, JP Radar Nganjuk- Upah Minimum Kabupaten (UMK) Nganjuk yang kecil juga berdampak pada perusahaan yang berdiri di Kota Angin. Perusahaan-perusahaan itu kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal. Berdasarkan pengamatan wartawan koran ini, perusahaan-perusahan lokal harus memasang pengumuman lowongan kerja di pagar perusahaannya. Ironisnya, persyaratan tenaga kerja yang dibutuhkan tidak harus memiliki pendidikan tinggi dan batasan usia. Ijazah SD, SMP dan SMA diizinkan melamar.

Ada juga perusahaan sepatu di Kecamatan Gondang yang meminta bantuan Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Mikro (Dinaskerkop UM) Kabupaten Nganjuk untuk mencarikan tenaga kerja. Jumlah yang dibutuhkan mencapai ribuan orang. “Tenaga kerjanya ada, peluang kerjanya juga ada. Hanya minatnya bekerja di perusahaan Nganjuk saja yang kurang,” ujar Kepala Disnakerkop UM Kabupaten Nganjuk Supiyanto kepada Jawa Pos Radar Nganjuk kemarin.

UMK Nganjuk yang hanya Rp 1.970.006, 41 dan kalah dengan daerah di sekitar Kota Angin seperti Jombang, Kota Kediri dan Surabaya menjadi alasan utama tenaga kerja lokal enggan bekerja di perusahaan Nganjuk. Mereka lebih memilih bekerja di daerah yang memiliki UMK tinggi. “Sama-sama kerja di pabrik, mereka memilih ke Surabaya,” ujar Supriyanto.

Baca Juga :  Pengedar Pil Koplo Dicokok Polisi

Selain itu, tenaga kerja lokal juga tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan di Nganjuk. Contohnya, perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang bisa menjahit tetapi tenaga kerja lokal justru tidak mampu. Akhirnya, tenaga kerja lokal mencari perusahaan di luar Nganjuk.

Ironisnya, tenaga kerja lokal juga lebih sreg bekerja sebagai buruh pitil brambang atau buruh tani daripada bekerja di perusahaan. Alasannya, mereka tidak mau terikat jam bekerja dan aturan perusahaan. Apalagi, upah pitil brambang dan buruh tani lebih tinggi dari UMK Nganjuk.

- Advertisement -

Kondisi inilah yang membuat dinaskerkop UM juga kebingungan. Karena investasi di Kota Angin terus meningkat. Kemudian, ada kebijakan perusahaan yang berdiri di Nganjuk harus menyerap tenaga kerja lokal. Namun, dalam kenyataannya, tenaga kerja lokal enggan bekerja di perusahaan lokal.

Baca Juga :  Camat Baron Ternyata Pengidola Alan Budikusuma

Selain mendorong dan mempromosikan lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan, dinaskerkop UM juga menggelar berbagai macam pelatihan. Mulai dari pelatihan menjahit hingga pelatihan merias wajah. Ini dilakukan agar tenaga kerja yang tidak mau bekerja di perusahaan bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri dengan keterampilan yang dimiliki. “Balai Lapangan Kerja (BLK) Kabupaten Nganjuk kami optimalkan untuk memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal,” ujar kepala dinas asal Kecamatan Gondang ini.

Sementara itu, Wahyu, 24, warga Kecamatan Kertosono mengaku enggan melamar kerja di perusahaan Nganjuk. Dia lebih memilih mengadu nasib ke Surabaya. “Lebih baik cari kerja di Surabaya karena UMK Surabaya lebih tinggi dari Nganjuk,” ujarnya.

Wahyu mengatakan, jarak Kertosono-Surabaya tidak terlalu jauh. Dia bisa pulang setiap minggu. “Kos juga tidak masalah. Bisa belajar mandiri,” pungkasnya.

- Advertisement -

NGANJUK, JP Radar Nganjuk- Upah Minimum Kabupaten (UMK) Nganjuk yang kecil juga berdampak pada perusahaan yang berdiri di Kota Angin. Perusahaan-perusahaan itu kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal. Berdasarkan pengamatan wartawan koran ini, perusahaan-perusahan lokal harus memasang pengumuman lowongan kerja di pagar perusahaannya. Ironisnya, persyaratan tenaga kerja yang dibutuhkan tidak harus memiliki pendidikan tinggi dan batasan usia. Ijazah SD, SMP dan SMA diizinkan melamar.

Ada juga perusahaan sepatu di Kecamatan Gondang yang meminta bantuan Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Mikro (Dinaskerkop UM) Kabupaten Nganjuk untuk mencarikan tenaga kerja. Jumlah yang dibutuhkan mencapai ribuan orang. “Tenaga kerjanya ada, peluang kerjanya juga ada. Hanya minatnya bekerja di perusahaan Nganjuk saja yang kurang,” ujar Kepala Disnakerkop UM Kabupaten Nganjuk Supiyanto kepada Jawa Pos Radar Nganjuk kemarin.

UMK Nganjuk yang hanya Rp 1.970.006, 41 dan kalah dengan daerah di sekitar Kota Angin seperti Jombang, Kota Kediri dan Surabaya menjadi alasan utama tenaga kerja lokal enggan bekerja di perusahaan Nganjuk. Mereka lebih memilih bekerja di daerah yang memiliki UMK tinggi. “Sama-sama kerja di pabrik, mereka memilih ke Surabaya,” ujar Supriyanto.

Baca Juga :  Ratusan Hektare Sawah Kena Gusur

Selain itu, tenaga kerja lokal juga tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan di Nganjuk. Contohnya, perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang bisa menjahit tetapi tenaga kerja lokal justru tidak mampu. Akhirnya, tenaga kerja lokal mencari perusahaan di luar Nganjuk.

Ironisnya, tenaga kerja lokal juga lebih sreg bekerja sebagai buruh pitil brambang atau buruh tani daripada bekerja di perusahaan. Alasannya, mereka tidak mau terikat jam bekerja dan aturan perusahaan. Apalagi, upah pitil brambang dan buruh tani lebih tinggi dari UMK Nganjuk.

Kondisi inilah yang membuat dinaskerkop UM juga kebingungan. Karena investasi di Kota Angin terus meningkat. Kemudian, ada kebijakan perusahaan yang berdiri di Nganjuk harus menyerap tenaga kerja lokal. Namun, dalam kenyataannya, tenaga kerja lokal enggan bekerja di perusahaan lokal.

Baca Juga :  Rp 12 Miliar untuk Balongrejo-Candirejo

Selain mendorong dan mempromosikan lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan, dinaskerkop UM juga menggelar berbagai macam pelatihan. Mulai dari pelatihan menjahit hingga pelatihan merias wajah. Ini dilakukan agar tenaga kerja yang tidak mau bekerja di perusahaan bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri dengan keterampilan yang dimiliki. “Balai Lapangan Kerja (BLK) Kabupaten Nganjuk kami optimalkan untuk memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal,” ujar kepala dinas asal Kecamatan Gondang ini.

Sementara itu, Wahyu, 24, warga Kecamatan Kertosono mengaku enggan melamar kerja di perusahaan Nganjuk. Dia lebih memilih mengadu nasib ke Surabaya. “Lebih baik cari kerja di Surabaya karena UMK Surabaya lebih tinggi dari Nganjuk,” ujarnya.

Wahyu mengatakan, jarak Kertosono-Surabaya tidak terlalu jauh. Dia bisa pulang setiap minggu. “Kos juga tidak masalah. Bisa belajar mandiri,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru

/