Baru-baru ini, kami terlibat dalam sebuah negosiasi yang alot. Ceritanya, kami mendapat garapan dari pemerintah daerah untuk menggelar sebuah event budaya. Yakni salah satu festival kesenian tradisional. Kami merancang event itu kolosal. Melibatkan ribuan orang. Tapi, di tengah perjalanan, kami diprotes keras oleh beberapa komunitas yang selama ini terlibat dalam berbagai pelestarian budaya. Mereka mempersoalkan event rancangan kami, yang kata mereka ada bagian yang menyalahi pakem.
Kami sampaikan kepada mereka, bahwa titik tekan dari event yang kami rancang adalah konsep “part of the show” dan entertainment alias menghibur. Karena bagi kami, jika terlalu mengikuti pakem, maka akan menjadi kurang menarik sebagai sebuah pertunjukan. Tapi, para pegiat budaya itu tetap bersikukuh dengan pendapatnya.
Kami pun berunding dan bernegosiasi. Meski sempat alot negosiasinya. Bahkan, sempat ada yang akan memboikot event kami tersebut. Akhirnya, tercapailah beberapa kompromi. Dan event itu pun akhirnya bisa digelar.
Negosiasi adalah salah satu keahlian komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Bagi marketer pun juga sangat dianjurkan memiliki kemampuan bernegosiasi.
William Ury, ahli negosiasi yang juga penulis buku “The Third Side” mengungkapkan, di era globalisasi saat ini telah menciptakan jaringan-jaringan tanpa batas, dan semakin kompleks. Karena interaksi kita dengan semua pihak makin luas, jurang perbedaan kita juga ikut melebar. Untuk mencapai kesepakatan, tanpa harus mengorbankan perbedaan-perbedaan itu, peran negosiasi dalam kemampuan berkomunikasi menjadi sangat penting.
William Ury menjabarkan, bahwa revolusi negosiasi telah mengalami putaran arah yang unik. Di masa lalu, selalu saja ada pihak yang memiliki posisi tawar lebih besar, sehingga bentuk negosiasi lebih banyak “win-lose solution”. Kini, zaman sudah berubah. Era informasi yang makin transparan menyebabkan pihak-pihak yang bernegosiasi makin berimbang. Bentuk negosiasi lebih banyak “win-win solution”.
Di bagian lain, Ken Burnett, penulis buku-buku tentang manajemen, keuangan dan marketing menyebut ada lima gaya negosiasi yang bisa diterapkan untuk berbagai keadaan.
Pertama, ketika posisi tawar kita sangat tinggi, kita bisa menggunakan gaya “enforcers”: agresif, penuh intimidasi dan ancaman. Misalnya, jika permintaan kita tidak dituruti, kita bisa mengancam akan keluar dari meja perundingan.
Kedua, gaya kompromi. Dalam hal ini, setiap permintaan yang diajukan, dikompensasikan dengan konsesi berimbang. Tujuannya, agar di akhir perundingan, kedua pihak mendapat konsesi yang hampir sama jumlahnya. Gaya ini yang kami terapkan ketika bernegosiasi dengan para pegiat budaya, seperti diceritakan di awal tulisan ini.
Gaya ketiga adalah “peacemakers”. Gaya ini sering digunakan dalam berbagai perundingan dan negosiasi politik. Gaya ini selalu mengedepankan “damai-nya”. Jadi, yang penting “damai dulu”. Ironisnya, gara-gara menerapkan gaya negosiasi ini, seringkali masalah-masalah penyebab konflik justeru disembunyikan “di bawah karpet”. Tak jarang, setelah selesai berunding, berbagai masalah kemudian muncul. Hal ini mirip situasi perundingan di Timur Tengah. Perundingannya berhasil menciptakan sejumlah kesepakatan damai, namun hingga kini masih terus dilanda peperangan.
Gaya keempat adalah “capitulators”. Gaya ini sering digunakan para pemasok untuk menyenangkan atau menservis konsumennya. Apa pun permintaan konsumen diiyakan, demi tercapainya kesepakatan. Sering kali terjadi, ketika kesepakatan itu dieksekusi, macet. Karena pihak penyuplai tidak bisa memenuhinya.
Gaya kelima adalah “generators”. Pada negosiasi ini, perunding akan memulai dengan cara membangun rasa kepercayaan di antara kedua pihak, dan mencoba menghapus segala kecurigaan. Kedua pihak berusaha meyakinkan pihak lawan, bahwa mereka bisa meraih tujuan kalau sepakat bekerja sama. Ini lah yang kemudian populer disebut dengan “win-win solution”.
Anda bisa menerapkan berbagai gaya dalam negosiasi tersebut, untuk berbagai situasi, kondisi dan toleransi.
Yang pasti, tidak ada yang tidak mungkin dicapai atau diwujudkan dengan kekuatan negosiasi. William Ury pernah mengatakan: “Berkelahi dan berbeda pendapat adalah sifat manusia. Namun, berdamai dan bersepakat adalah juga sifat manusia yang lain. Manusia bijak memilih satu di antaranya”.
Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)