Selama bertugas di Kediri, saya baru benar-benar memahami tentang Gudang Garam. Ini lah salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia, yang berasal dari Kediri. Dan pada tahun 2022, Gudang Garam menjadi salah satu dari 10 industri rokok terbesar di dunia, dengan kapitalisasi perusahaan mencapai USD 2,72 miliar, atau sekitar Rp 40,8 Triliun.(bisnis.com).
Yang menarik dari Gudang Garam adalah gaya public relation-nya, yang cenderung menghindari pemberitaan. Semua kegiatan sosial atau program CSR-nya Gudang Garam, hampir tidak pernah diekspos di media massa. Padahal, di perusahaan itu ada divisi khusus PR atau Humas. Mereka lebih bertugas menjadi penghubung antara perusahaan dengan masyarakat, atau dengan para stake holder yang terkait langsung maupaun tidak langsung dengan perusahaan. Dengan media massa, lebih pada menjaga hubungan baik saja dengan para awak media. Hampir tidak pernah ada release dari Gudang Garam, jika perusahaan itu melakukan kegiatan sosial atau kemasyarakatan. Mereka cenderung menghindari publisitas. Bahkan, ketika saat ini mereka sedang membangun bandara baru di Kediri, juga sangat minim dalam pemberitaan. Hampir tidak pernah mereka merilis ke media massa progres dari perkembangan bandara baru yang sedang mereka bangun.
Saya sempat bertanya kepada beberapa “orang dalam” di Gudang Garam yang di antaranya punya jabatan penting. Kata mereka, sudah sejak dulu Gudang Garam tak suka dengan publikasi media massa. Mereka bercerita, saat pandemi Covid sedang gawat-gawatnya, Gudang Garam banyak membantu menyumbang ventilator (alat bantu pernafasan) ke sejumlah rumah sakit di Jawa Timur senilai ratusan miliar rupiah. Tapi, untuk bantuan ini, mereka lakukan secara diam-diam. Tanpa publikasi.
Gudang Garam juga secara rutin memberikan beasiswa kepada murid-murid yang berprestasi dari keluarga tidak mampu. Dan ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Ini pun dilakukan tanpa publikasi.
Perusahaan terbuka (Tbk), mengapa cenderung menghindari publikasi? Bukan kah aktivitas baik yang dilakukan perusahaan yang dipublikasikan, bisa meningkatkan image atau citra perusahaan? Ternyata ini tidak berlaku bagi Gudang Garam.
Menurut “orang dalam” di Gudang Garam tadi, itu adalah bagian dari menjalankan pesan dari sang pendiri Gudang Garam, Surya Wonowidjojo atau Tjoa Jien Hwie, yang memang mewanti-wanti untuk tidak gila publisitas. Apalagi, untuk aktivitas yang baik.
Mungkin, mereka ingin mengamalkan kaidah dalam memberi (bersodaqoh): “Tangan kanan memberi, tangan kirimu jangan sampai tahu”. Berbuat baik itu, yang penting bermanfaat.
Rupanya, pesan dari sang pendiri itu lah yang sampai saat ini menjadi kepribadian dari perusahaan Gudang Garam.
Terkait dengan kepribadian perusahaan ini, saya teringat dengan sebuah buku berjudul: “Corporate Religion” yang ditulis oleh Jesper Kunde. Dia pernah bekerja di perusahaan bir Carlsberg. Buku yang dia tulis itu didasari dari pengalamannya saat mendirikan perusahaan iklan terbesar di Skandinavia, Kunde &Co.
Kunde menjelaskan, yang bisa bertahan di masa mendatang adalah perusahaan yang memiliki kepribadian kuat dan jiwa korporasi. Kepribadian kuat bisa diperoleh, misalnya dengan melestarikan budaya perusahaan yang dulunya dikembangkan pendiri perusahaan. Ini merupakan upaya lebih nyata untuk melestarikan hal-hal baik dari sang pendiri perusahaan.
Bahwa Gudang Garam bisa menjadi perusahaan besar seperti sekarang, tidak lepas dari kepribadian perusahaan yang ditanamkan oleh pendirinya. Dan diterapkan hingga kini. Dari sang pendiri, Gudang Garam punya “Catur Dharma” yang menjadi kepribadian atau filosofi dari perusahaan. “Catur Dharma” itu adalah: Pertama, kehidupan yang bermakna dan berfaedah bagi masyarakat luas, merupakan suatu kebahagiaan. Kedua, kerja keras, ulet, jujur, sehat dan beriman, adalah prasyarat kesuksesan. Ketiga, kesuksesan tidak dapat terlepas dari peranan dan kerja sama dengan orang lain. Dan keempat, karyawan adalah mitra usaha yang utama.
Anda setuju dengan kepribadian perusahaan ala Gudang Garam? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)