Sejauh ini, dari beberapa lembaga survei di tanah air, tiga nama itu lah yang mengemuka, yang paling banyak disebut, sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan (2024): Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Di antara Anda, pasti ada yang menjagokan di antara ketiga kandidat itu.
Jika diibaratkan sebagai sebuah produk, ketiganya sama-sama populer. Sama-sama punya porto folio yang meyakinkan. Dan sama-sama punya basis partai politik yang selama ini mewarnai jagad perpolitikan tanah air. Jadi, ketiganya bukan “sembarang produk”.
Ganjar “diproduksi” oleh PDI Perjuangan (PDIP). Anies oleh Nasional Demokrat (Nasdem). Dan Prabowo “diproduksi” oleh Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Jika ketiga figur itu kelak benar-benar “bertarung” dalam Pilpres 2024, yang terjadi bukan hanya pertarungan antar figur. Tapi, ini juga pertarungan antara “produsen” politik: PDIP, Nasdem, dan Gerindra.
Lantas, faktor apa yang paling menentukan? Dalam kontestasi politik semacam pilpres atau pun pilkada, saya termasuk yang percaya, bahwa faktor figur adalah paling menentukan. Di sini lah pentingnya “Personal Branding”.
Tim O’Brien, penulis buku “The Power of Personal Branding; Creating Celebrity Status with Your Target Audience” mendefinisikan “personal branding” sebagai identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut. Dengan kata lain, “personal branding” adalah proses membentuk persepsi masyarakat terhadap aspek-aspek yang dimiliki oleh seseorang, di antaranya adalah kepribadian, kemampuan, atau nilai-nilai dan bagaimana semua itu menimbulkan persepsi positif dari masyarakat, yang akhirnya dapat digunakan sebagai alat marketing.
Pendapat lain mengatakan, bahwa “personal branding” mewakili nilai-nilai, kepribadian, kemahiran, dan kualitas, yang membuat seseorang menjadi unik, dan berbeda dibandingkan dengan figur lain (Montoya&Vandehey, 2009). Dijelaskan lebih lanjut, ada tiga elemen utama yang membentuk “personal branding”: Pertama, you. Yakni, Anda sendiri. Anda dapat membentuk sebuah “personal branding” melalui sebuah polesan dan metode komunikasi yang disusun dengan baik. “Personal branding” merupakan sebuah gambaran tentang apa yang dipikirkan masyarakat mengenai seseorang. “Personal branding” mencerminkan nilai-nilai kepribadian, keahlian, dan kualitas yang membuat seseorang berbeda dengan lainnya.
Kedua, promise. “Personal branding” sesungguhnya adalah sebuah janji. Sebuah tanggung jawab yang diharapkan untuk memenuhi harapan yang timbul pada masyarakat tentang “personal branding” seseorang.
Ketiga, relationship. “Personal branding” yang baik, akan mampu menciptakan suatu relasi yang baik dengan klien. Semakin banyak atribut-atribut yang dapat diterima oleh klien dan semakin tingginya tingkat kekuasaan seseorang, maka menunjukkan semakin baiknya tingkat relasi yang ada pada “personal branding” tersebut.
Nah, dari tiga elemen pembentuk “personal branding” itu, kita bisa menilai atau membuat persepsi tentang tiga figur tadi: Ganjar, Anies, dan Prabowo.
Misalnya tentang Ganjar. Figur yang saat ini menjadi Gubernur Jawa Tengah itu dipersepsikan sebagai sosok penerusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ganjar dan Jokowi sama-sama kader PDIP. Dan ketika Ganjar dideklarasikan sebagai calon presiden (capres) dari PDIP, Jokowi hadir. Maka, bisa jadi “promise” yang ditawarkan oleh Ganjar adalah meneruskan apa yang menjadi prioritas dan kebijakan dari Jokowi selama dia menjadi presiden.
Sedangkan Anies, banyak yang mempersepsikan sebagai “anti-tesa” Jokowi. Maka, mereka yang tidak sepaham atau menentang kebijakan Jokowi, akan berada di pihaknya Anies. “Promise” yang ditawarkan Anies, bisa jadi adalah merevisi, mengubah, atau bahkan membatalkan kebijakan yang pernah dibuat oleh Jokowi.
Bagaimana dengan Prabowo? Figur ini pernah bertarung “melawan” Jokowi dalam pilpres 2019. Saat itu, begitu serunya pertarungan tersebut. Dan Prabowo kalah. Tapi, dia kemudian bersedia bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Ada banyak persepsi yang diberikan kepada Prabowo kala dia memutuskan untuk bergabung di kabinet yang dipimpin Jokowi. Ada yang menyebut Prabowo pengkhianat. Tapi, ada juga yang menyebut Prabowo mau legowo, menerima kekalahannya, dan berbesar hati bersedia menjadi menteri di kabinet pemerintahannya Jokowi.
Dan selama menjadi menteri-nya Jokowi, Prabowo menunjukkan kesantunannya dalam politik. Fatsun politik benar-benar dia pegang, meski dia menjadi orang nomor satu di Partai Gerindra. Sehingga, Jokowi pun respek terhadap Prabowo.
Dengan perilaku dan sepak terjang Prabowo selama ini, sehingga dia dipersepsikan sebagai figur penyeimbang. Kutubnya tidak terlalu ke “Jokowi”, tapi juga tidak terlalu konfrontatif dengan Jokowi. Bisa jadi, “promise” yang dia tawarkan adalah kompromi, mengakomodir pihak yang berseberangan dengan Jokowi, dan menyempurnakan kebijakan yang sudah dilakukan atau dibuat oleh Jokowi.
Nah, apakah Anda setuju dengan persepsi atau “personal branding” di atas, terhadap tiga figur tersebut? Atau, Anda punya persepsi sendiri? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)