29.2 C
Kediri
Thursday, March 23, 2023

Marketing On Wednesday #82

Deep Purple 

- Advertisement -

Dari sejumlah lagu milik Deep Purple, saya paling hapal dengan dua lagu ini: “Smoke on The Water” dan “Highway Star”. Itu karena ketika masih bertugas di Jawa Pos Surabaya, saya pernah membentuk grup band beraliran rock. Namanya: “JP Rock Band”. Dan ketika itu, di antara lagu-lagu yang kami sering mainkan dan kuasai, adalah dua lagu milik Deep Purple tersebut.

Ketika menggelar konser “Deep Purple World Tour 2023” di Solo Jumat pekan lalu (10/3/2023), “Smoke on The Water” kembali dinyanyikan oleh grup musik asal Inggris itu. Di deretan kursi penonton, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak ikut menyanyi, ketika lagu yang pernah populer di tahun 70-an itu dibawakan. Video Presiden Jokowi ikut menyanyikan lagu “Smoke on The Water” bersama ibu negara beredar di media sosial.

Deep Purple. Ini lah grup musik yang dibentuk di Inggris sejak 1968. Dan dalam perjalanannya, hingga kini telah 9 kali berganti formasi pemain. Akibat dari polemik dan konflik yang menyertai perjalanan grup musik tersebut. Formasi mutakhir dibentuk sejak September 2022. Mereka terdiri dari Ian Gillan (vokalis), Roger Glover (bassist), dan Ian Paice (drummer). Lalu ada Don Airey (keyboard) dan Simon McBride (gitar). Formasi ini lah yang Jumat pekan lalu tampil di Gedung Auditorium UMS, Solo, disaksikan ribuan penonton.

Mengapa Deep Purple masih bisa eksis, dan masih laku untuk dijual di tengah semakin banyaknya grup musik yang lain? Pertama, karena penggemarnya yang sangat hapal dengan lagu-lagunya, masih ada hingga kini. Jika Deep Purple diibaratkan sebagai sebuah produk, segmen pembelinya masih ada. Setidaknya mereka berasal dari generasi baby boomers (lahir 1946 – 1964) dan generasi X (lahir 1965 – 1976). Merujuk sensus penduduk 2020 (BPS, 2021), total jumlah generasi X dan baby boomers adalah 33,44 persen dari jumlah penduduk saat itu yang mencapai 270,20 juta jiwa. Generasi baby boomers dan generasi X ini lah yang diasumsikan sebagai segmen penggemarnya Deep Purple.

Baca Juga :  Lima Korban Pembacokan di Wates Dirujuk ke RSUD SLG

Kedua, dalam konteks marketing, Deep Purple sudah punya “brand equity” yang baik. Ini adalah nilai lebih dari sebuah brand yang diperoleh akibat brand itu mudah dikenali dan berkesan daripada brand kompetitor. “Brand equity” bukan tentang meraup keuntungan secara instan, Tapi membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen.

- Advertisement -

Menurut David Aaker (seorang spesialis dalam pemasaran dari University of California, fokus pada strategi merek), ada empat dimensi yang membangun “brand equity”. Pertama, “brand awareness”. Yakni kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat, bahwa sebuah brand merupakan anggota dari kategori produk tertentu. Kedua, “perceived quality”. Ini merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Ketiga, “brand associations”. Yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah merek. Dan keempat, “brand loyalty”. Suatu ikatan atau tautan yang dimiliki konsumen terhadap sebuah merek.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, bisa dikatakan, jika sebuah brand ingin memiliki “brand equity” yang baik, maka konsumen harus mudah mengenali dan mengingat brand itu. Konsumen harus mengakui keunggulan dari brand itu. Konsumen sangat hapal di ingatannya, tentang apa pun yang terkait dengan brand itu. Dan konsumen memiliki ikatan yang kuat dengan brand itu.

Jika diibaratkan sebagai sebuah produk, Deep Purple sangat mudah dikenali dan diingat oleh para penggemarnya (konsumennya). Melalui lagu-lagu yang pernah dirilisnya. Selain “Smoke on The Water” dan “Highway Star”, di antara lagunya yang sangat populer adalah: “Black Night”, “Soldier of Fortune”, “Lazy”, “Into the Fire”, “Women from Tokyo” dan “Perfect Strangers”.

Baca Juga :  Yu Minthul Lemu, Kang Paijo Mlayu

Para penggemarnya juga mengakui keunggulan dari Deep Purple dibandingkan dengan grup musik lain yang sealiran dengannya. Secara kualitas, grup ini juga cukup tangguh. Sejak didirikan pada 1968, hingga kini masih bisa eksis, meski sempat berganti formasi hingga sembilan kali.

Hingga kini, grup tersebut telah merilis 19 album studio. Capaian terbesarnya sepanjang sejarah yang sulit ditandingi grup musik lain adalah sukses menjual lebih dari 100 juta kopi album di seluruh dunia.

Hingga kini, beberapa vokalisnya tetap bisa menjaga kualitas dan performa penampilannya meski rata-rata pemainnya berusia kepala tujuh. Dan kualitas prima ini ditunjukkan saat manggung di Solo Jumat pekan lalu.

Ini lah yang lantas membentuk “brand association” dan “brand loyalty” yang kuat di kalangan para penggemar Deep Purple. Buktinya, sambutan dari para penggemarnya ketika Deep Purple menggelar konser di Solo masih cukup tinggi. Dan Solo, bukan satu-satunya tempat untuk didatangi. Mereka juga akan mendatangi kota-kota lain di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Jadi, apa yang bisa kita ambil pelajaran dari eksistensi Deep Purple? Bahwa “brand equity” adalah sebuah proses yang panjang. Ketika sebuah brand diperkenalkan pertama kali kepada publik, maka sejak itu lah brand tersebut selalu diikuti rekam jejaknya oleh para pengamatnya, oleh para penggemarnya, dan oleh para pembelinya. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)

- Advertisement -

Dari sejumlah lagu milik Deep Purple, saya paling hapal dengan dua lagu ini: “Smoke on The Water” dan “Highway Star”. Itu karena ketika masih bertugas di Jawa Pos Surabaya, saya pernah membentuk grup band beraliran rock. Namanya: “JP Rock Band”. Dan ketika itu, di antara lagu-lagu yang kami sering mainkan dan kuasai, adalah dua lagu milik Deep Purple tersebut.

Ketika menggelar konser “Deep Purple World Tour 2023” di Solo Jumat pekan lalu (10/3/2023), “Smoke on The Water” kembali dinyanyikan oleh grup musik asal Inggris itu. Di deretan kursi penonton, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak ikut menyanyi, ketika lagu yang pernah populer di tahun 70-an itu dibawakan. Video Presiden Jokowi ikut menyanyikan lagu “Smoke on The Water” bersama ibu negara beredar di media sosial.

Deep Purple. Ini lah grup musik yang dibentuk di Inggris sejak 1968. Dan dalam perjalanannya, hingga kini telah 9 kali berganti formasi pemain. Akibat dari polemik dan konflik yang menyertai perjalanan grup musik tersebut. Formasi mutakhir dibentuk sejak September 2022. Mereka terdiri dari Ian Gillan (vokalis), Roger Glover (bassist), dan Ian Paice (drummer). Lalu ada Don Airey (keyboard) dan Simon McBride (gitar). Formasi ini lah yang Jumat pekan lalu tampil di Gedung Auditorium UMS, Solo, disaksikan ribuan penonton.

Mengapa Deep Purple masih bisa eksis, dan masih laku untuk dijual di tengah semakin banyaknya grup musik yang lain? Pertama, karena penggemarnya yang sangat hapal dengan lagu-lagunya, masih ada hingga kini. Jika Deep Purple diibaratkan sebagai sebuah produk, segmen pembelinya masih ada. Setidaknya mereka berasal dari generasi baby boomers (lahir 1946 – 1964) dan generasi X (lahir 1965 – 1976). Merujuk sensus penduduk 2020 (BPS, 2021), total jumlah generasi X dan baby boomers adalah 33,44 persen dari jumlah penduduk saat itu yang mencapai 270,20 juta jiwa. Generasi baby boomers dan generasi X ini lah yang diasumsikan sebagai segmen penggemarnya Deep Purple.

Baca Juga :  Madu Hitam

Kedua, dalam konteks marketing, Deep Purple sudah punya “brand equity” yang baik. Ini adalah nilai lebih dari sebuah brand yang diperoleh akibat brand itu mudah dikenali dan berkesan daripada brand kompetitor. “Brand equity” bukan tentang meraup keuntungan secara instan, Tapi membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen.

Menurut David Aaker (seorang spesialis dalam pemasaran dari University of California, fokus pada strategi merek), ada empat dimensi yang membangun “brand equity”. Pertama, “brand awareness”. Yakni kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat, bahwa sebuah brand merupakan anggota dari kategori produk tertentu. Kedua, “perceived quality”. Ini merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Ketiga, “brand associations”. Yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah merek. Dan keempat, “brand loyalty”. Suatu ikatan atau tautan yang dimiliki konsumen terhadap sebuah merek.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, bisa dikatakan, jika sebuah brand ingin memiliki “brand equity” yang baik, maka konsumen harus mudah mengenali dan mengingat brand itu. Konsumen harus mengakui keunggulan dari brand itu. Konsumen sangat hapal di ingatannya, tentang apa pun yang terkait dengan brand itu. Dan konsumen memiliki ikatan yang kuat dengan brand itu.

Jika diibaratkan sebagai sebuah produk, Deep Purple sangat mudah dikenali dan diingat oleh para penggemarnya (konsumennya). Melalui lagu-lagu yang pernah dirilisnya. Selain “Smoke on The Water” dan “Highway Star”, di antara lagunya yang sangat populer adalah: “Black Night”, “Soldier of Fortune”, “Lazy”, “Into the Fire”, “Women from Tokyo” dan “Perfect Strangers”.

Baca Juga :  Experiential Marketing

Para penggemarnya juga mengakui keunggulan dari Deep Purple dibandingkan dengan grup musik lain yang sealiran dengannya. Secara kualitas, grup ini juga cukup tangguh. Sejak didirikan pada 1968, hingga kini masih bisa eksis, meski sempat berganti formasi hingga sembilan kali.

Hingga kini, grup tersebut telah merilis 19 album studio. Capaian terbesarnya sepanjang sejarah yang sulit ditandingi grup musik lain adalah sukses menjual lebih dari 100 juta kopi album di seluruh dunia.

Hingga kini, beberapa vokalisnya tetap bisa menjaga kualitas dan performa penampilannya meski rata-rata pemainnya berusia kepala tujuh. Dan kualitas prima ini ditunjukkan saat manggung di Solo Jumat pekan lalu.

Ini lah yang lantas membentuk “brand association” dan “brand loyalty” yang kuat di kalangan para penggemar Deep Purple. Buktinya, sambutan dari para penggemarnya ketika Deep Purple menggelar konser di Solo masih cukup tinggi. Dan Solo, bukan satu-satunya tempat untuk didatangi. Mereka juga akan mendatangi kota-kota lain di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Jadi, apa yang bisa kita ambil pelajaran dari eksistensi Deep Purple? Bahwa “brand equity” adalah sebuah proses yang panjang. Ketika sebuah brand diperkenalkan pertama kali kepada publik, maka sejak itu lah brand tersebut selalu diikuti rekam jejaknya oleh para pengamatnya, oleh para penggemarnya, dan oleh para pembelinya. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)

Artikel Terkait

Kepribadian Perusahaan

Mixue

Experiential Marketing

Rest Area 456 

Warunk Upnormal

Most Read


Artikel Terbaru

/