Film serial “Layangan Putus” sedang menjadi perbincangan luas alias viral di jagad maya. Ceritanya sebenarnya sangat klasik: Tentang perselingkuhan suami yang akhirnya diketahui oleh istrinya. Tapi, meski pun problem perselingkungan dalam rumah tangga adalah hal yang sangat sering terjadi, tapi, film itu tetap saja diminati.
Bahkan, banyak yang menjuluki “Layangan Putus” adalah “The World of The Married” versi Indonesia. Karena memiliki tema yang sama, yaitu mengangkat tema tentang perselingkuhan di sebuah rumah tangga yang semula bahagia. “The World of The Married” adalah serial film Korea yang pada tahun 2020 sempat menjadi perbincangan luas karena alur ceritanya yang dianggap menarik. Meskipun temanya klasik, tentang perselingkuhan.
Mengapa Film “Layangan Putus” menarik? Setidaknya karena dua hal. Pertama, proximity. Kedua, karena yang disentuh adalah aspek emosional-nya. Yang dimaksud dengan proximity adalah kedekatan. Film “Layangan Putus” mengangkat problem perselingkuhan yang sering dialami rumah tangga. Karena itu, film itu pun menjadi dekat dengan siapa pun yang sudah berumah tangga. Apalagi, rumah tangga yang sedang dilanda problem perselingkuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek emosional dalam film itu adalah tentang kemarahan seorang istri yang merasa dikhianati suaminya karena berselingkuh dengan wanita lain. Jadi, mengangkat aspek emosional seorang istri, adalah sebuah isu yang akan sangat cepat direspon, khususnya oleh para perempuan wabil khusus para istri.
Dalam konteks marketing, ada yang disebut dengan “emotional marketing”. Ini adalah sebuah strategi pemasaran yang bertujuan untuk membangkitkan emosi pasarnya yang dijadikan penerima pesan dan target pemasaran. Dalam banyak kasus, tujuan dari “emotional marketing” untuk membangkitkan emosi terkait dengan suatu merek/brand atau perusahaan.
Film “Layangan Putus” tampaknya menggunakan jurus “emotional marketing”. Yakni, membangkitkan emosi pasarnya (para perempuan, istri dan ibu-ibu) yang dijadikan penerima pesan dan target pemirsa film.
Dalam membahas tentang “emotional marketing”, kita perlu memahami psikologi dasar manusia, terutama yang terkait dengan emosi. Manusia pada dasarnya memiliki lima emosi dasar. Pertama, perasaan jijik. Kedua, perasaan takut. Ketiga, perasaan senang. Keempat, perasaan sedih. Dan kelima, perasaan marah.
Pernah kah Anda menonton film animasi berjudul “Inside Out”? Film ini mengisahkan tentang sudut pandang anak berusia 11 tahun yang bernama Riley. Ada lima emosi yang ada dalam pikiran Riley, digambarkan oleh karakter Joy (bahagia), Sadness (sedih), Anger (marah), Fear (takut), serta Disgust (jijik). Ini lah yang mewakili lima emosi dasar pada manusia.
Emosi-emosi tersebut tak hanya sekadar ekspresi atau perasaan, tapi dapat juga mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang. “Emotional marketing” bisa berjalan, dengan memancing perasaan audiens. Jadi, Anda tinggal memilih jenis emosi mana yang ingin diasosiasikan dengan pesan marketing Anda.
Belakangan ini, strategi “emotional marketing” semakin banyak digunakan karena terbukti cukup ampuh untuk menarik perhatian konsumen. Ini wajar, karena dorongan emosional lebih efektif untuk membuat target konsumen mengambil keputusan pembelian dibandingkan logika.
Salah satu contoh yang menggunakan strategi “emotional marketing” adalah GoPay. Pada iklan akhir tahunnya, GoPay menampilkan momen-momen menyenangkan seperti diving, traveling, bermain game, dan menonton darama korea. Iklan ini mengaitkan GoPay dengan aktivitas dan gaya hidup yang menggembirakan. Selain itu, iklan tersebut juga mengajak penonton untuk menikmati liburan akhir tahun mereka, dan menyampaikan pesan bahwa konsumen bisa mendapatkan semua kesenangan itu dengan GoPay.
Jadi, kita bisa memanfaatkan lima emosi dasar yang ada pada manusia dalam menggunakan strategi “emotional marketing”. Dan dalam memilih, tentu saja harus menyesuaikan dengan target pasar yang akan dituju. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)