23.2 C
Kediri
Monday, March 27, 2023

– Asumsi –

- Advertisement -

Suatu hari di perempatan lampu merah. Di depan saya ada enam mobil berderet memanjang yang sama-sama berhenti. Seorang pemuda menjajakan tahu goreng dalam kemasan plastic. Dia menawarkan dagangannya ke setiap mobil yang berhenti, mulai dari deretan paling depan.  Tapi, hingga deretan mobil kelima, tak ada satu pun penumpang di dalam mobil-mobil itu yang membeli.

Saya saat itu kebetulan sedang lapar. Rencana mau membeli tahu goreng itu. Tapi menunggu hingga penjual itu mendatangi mobil saya. Tapi, ternyata dia berhenti menawarkan dagangannya sampai pada deretan mobil kelima. Deretan mobil keenam, lalu mobil saya tak dia tawari. 

Bisa jadi, saat itu dia berasumsi, bahwa deretan mobil keenam, lalu mobil saya, tak akan membeli tahu gorengnya. Dia berasumsi seperti itu karena mendasarkan pada lima mobil sebelumnya yang semua penumpangnya tak ada yang membeli. Jika benar si penjual tahu tadi berasumsi seperti itu, berarti asumsinya tak sepenuhnya benar. Karena saat itu, saya berniat akan membeli.

Terhadap asumsi, kita disarankan oleh Roger Von Oech agar berhati-hati. Dalam bukunya yang berjudul: “Expect The Unexpected (Or You Won’t Find It)”  Roger mengatakan bahwa asumsi adalah salah prestasi daya pikir manusia. Karena asumsi merupakan bentuk antisipasi terhadap sejumlah kejadian sebelumnya. 

Baca Juga :  - Telkom -

Von Oech memberikan contoh: misalnya bos Anda setiap hari Senin marah-marah terus, hingga 9 kali Senin berturut-turut. Maka, Anda mungkin akan berasumsi pada Senin ke-10, bos Anda akan marah-marah lagi. Sehingga, dengan asumsi itu, Anda tidak berani menghadap kepada bos Anda pada Senin berikutnya. Di sini lah, kata Von Oech, letak kelemahan asumsi. Apa yang telah terjadi di masa lalu, tidak lah tepat dijadikan alat untuk meramalkan masa depan. 

- Advertisement -

Kalau saja kita terlampau sering menggunakan asumsi, kita akan terjebak, cenderung melihat perspektif dalam satu sudut pandang saja. Dan ini jelas tidak akan menguntungkan. Sebab, akan membuat kita tidak akan siap menghadapi hal-hal yang tak terduga. 

Padahal, masih kata Von Oech, bisa saja, bos Anda di akhir pekannya sedang berbahagia karena mendapatkan hadiah. Sehingga, pada hari Senin-nya tidak marah-marah lagi seperti Senin-Senin sebelumnya. Makanya, jangan terlalu gampang mengambil asumsi. 

Saya pernah mengamati beberapa orang dari tim marketing di perusahaan yang saya pimpin. Mereka yang jarang memenuhi target omsetnya, ketika saya amati, kebanyakan sering tersandera oleh asumsi yang mereka bangun sendiri. Misalnya, ketika dia harus memberikan penawaran kepada lima orang klien. Saat penawarannya ditolak oleh tiga klien, dia tak lagi melanjutkan penawarannya kepada klien keempat dan kelima. Dia berasumsi, klien keempat dan kelima pasti akan menolak penawarannya, seperti yang dilakukan klien pertama, kedua dan ketiga. Padahal, belum tentu seperti itu. Sekali lagi, di sini lah “bahaya”-nya asumsi. 

Baca Juga :  Belajar dari “Brand” Polri

Jika Nadiem Makarim saat itu sangat percaya dengan asumsi-asumsi yang beredar tentang keberadaan tukang ojek, maka dia tidak akan sukses bikin aplikasi Go-Jek. “Ketika proposal bisnismu banyak dicibir orang, dan banyak dicemooh orang, maka itu berarti bisnismu prospeknya bagus,” kata Nadiem saat itu, ketika masih belum menjadi Menteri Pendidikan, dan ketika itu masih menjadi orang nomor satu di Go-Jek. 

Kala itu dia menceritakan, bagaimana orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri, mencibirnya ketika dia menyatakan keinginannya untuk mem-bisnis-kan ojek dengan menggunakan teknologi digital. Cibiran itu diberikan, sudah tentu dibangun dari asumsi-asumsi sebelumnya tentang gojek.  

Jadi, berhati-hatilah dengan asumsi. Letakkan lah pada tempatnya, bahwa asumsi itu bukan lah fakta. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)

- Advertisement -

Suatu hari di perempatan lampu merah. Di depan saya ada enam mobil berderet memanjang yang sama-sama berhenti. Seorang pemuda menjajakan tahu goreng dalam kemasan plastic. Dia menawarkan dagangannya ke setiap mobil yang berhenti, mulai dari deretan paling depan.  Tapi, hingga deretan mobil kelima, tak ada satu pun penumpang di dalam mobil-mobil itu yang membeli.

Saya saat itu kebetulan sedang lapar. Rencana mau membeli tahu goreng itu. Tapi menunggu hingga penjual itu mendatangi mobil saya. Tapi, ternyata dia berhenti menawarkan dagangannya sampai pada deretan mobil kelima. Deretan mobil keenam, lalu mobil saya tak dia tawari. 

Bisa jadi, saat itu dia berasumsi, bahwa deretan mobil keenam, lalu mobil saya, tak akan membeli tahu gorengnya. Dia berasumsi seperti itu karena mendasarkan pada lima mobil sebelumnya yang semua penumpangnya tak ada yang membeli. Jika benar si penjual tahu tadi berasumsi seperti itu, berarti asumsinya tak sepenuhnya benar. Karena saat itu, saya berniat akan membeli.

Terhadap asumsi, kita disarankan oleh Roger Von Oech agar berhati-hati. Dalam bukunya yang berjudul: “Expect The Unexpected (Or You Won’t Find It)”  Roger mengatakan bahwa asumsi adalah salah prestasi daya pikir manusia. Karena asumsi merupakan bentuk antisipasi terhadap sejumlah kejadian sebelumnya. 

Baca Juga :  From Facebook with Meta

Von Oech memberikan contoh: misalnya bos Anda setiap hari Senin marah-marah terus, hingga 9 kali Senin berturut-turut. Maka, Anda mungkin akan berasumsi pada Senin ke-10, bos Anda akan marah-marah lagi. Sehingga, dengan asumsi itu, Anda tidak berani menghadap kepada bos Anda pada Senin berikutnya. Di sini lah, kata Von Oech, letak kelemahan asumsi. Apa yang telah terjadi di masa lalu, tidak lah tepat dijadikan alat untuk meramalkan masa depan. 

Kalau saja kita terlampau sering menggunakan asumsi, kita akan terjebak, cenderung melihat perspektif dalam satu sudut pandang saja. Dan ini jelas tidak akan menguntungkan. Sebab, akan membuat kita tidak akan siap menghadapi hal-hal yang tak terduga. 

Padahal, masih kata Von Oech, bisa saja, bos Anda di akhir pekannya sedang berbahagia karena mendapatkan hadiah. Sehingga, pada hari Senin-nya tidak marah-marah lagi seperti Senin-Senin sebelumnya. Makanya, jangan terlalu gampang mengambil asumsi. 

Saya pernah mengamati beberapa orang dari tim marketing di perusahaan yang saya pimpin. Mereka yang jarang memenuhi target omsetnya, ketika saya amati, kebanyakan sering tersandera oleh asumsi yang mereka bangun sendiri. Misalnya, ketika dia harus memberikan penawaran kepada lima orang klien. Saat penawarannya ditolak oleh tiga klien, dia tak lagi melanjutkan penawarannya kepada klien keempat dan kelima. Dia berasumsi, klien keempat dan kelima pasti akan menolak penawarannya, seperti yang dilakukan klien pertama, kedua dan ketiga. Padahal, belum tentu seperti itu. Sekali lagi, di sini lah “bahaya”-nya asumsi. 

Baca Juga :  Rumus Sukses

Jika Nadiem Makarim saat itu sangat percaya dengan asumsi-asumsi yang beredar tentang keberadaan tukang ojek, maka dia tidak akan sukses bikin aplikasi Go-Jek. “Ketika proposal bisnismu banyak dicibir orang, dan banyak dicemooh orang, maka itu berarti bisnismu prospeknya bagus,” kata Nadiem saat itu, ketika masih belum menjadi Menteri Pendidikan, dan ketika itu masih menjadi orang nomor satu di Go-Jek. 

Kala itu dia menceritakan, bagaimana orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri, mencibirnya ketika dia menyatakan keinginannya untuk mem-bisnis-kan ojek dengan menggunakan teknologi digital. Cibiran itu diberikan, sudah tentu dibangun dari asumsi-asumsi sebelumnya tentang gojek.  

Jadi, berhati-hatilah dengan asumsi. Letakkan lah pada tempatnya, bahwa asumsi itu bukan lah fakta. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)

Artikel Terkait

Deep Purple 

Mixue

Experiential Marketing

Rest Area 456 

Most Read


Artikel Terbaru

/