22.3 C
Kediri
Sunday, May 28, 2023

Jati Diri dan Rasa Memiliki

Ketika menyusun buku ‘Persik Juara Sejati’ pada 2006, penulis menelusuri jejak sejarah klub berjuluk Macan Putih ini. Target pertama yang ingin penulis ketahui adalah dari mana julukan dan warna kebesaran tim ini berasal? Sebab, ketika melihat logo Persik sejak perserikatan ini berdiri hingga sekarang, tak ada dua hal tersebut.

Logo Persik jauh dari wajah sangar sang macan berkulit putih itu. Yang ada adalah satu gapura di dalam bangun segilima yang warna dasarnya merah dan hitam. Juga ada simbol bunga teratai di bagian bawah. Logo ini khas perserikatan kala itu yang pasti mengambil unsur-unsur kearifan lokal dari lambang negara Pancasila. Bangun segilima tentu menggambarkan jumlah sila dalam Pancasila. Kemudian, dalam versi lengkapnya ada gambar padi kapas yang khas menggambarkan kemakmuran.

Di logo itu tak ada gambar macan putih. Juga, sama sekali tak memiliki unsur warna ungu. Pertanyaannya, dari mana dua hal itu berasal?

Soal simbol macan putih, yang kemudian jadi julukan Persik, datang jauh setelah perserikatan ini berdiri. Baru muncul pada akhir 1990-an, ketika Persik akhirnya bisa masuk ke divisi II setelah sebelumnya sangat kerasan di divisi paling bontot, divisi III. Persik yang butuh identitas akhirnya memilih salah satu unsur di logo Pemkot Kediri, macan putih. Ide ini datang dari Ketua Umum Persik saat itu, yang juga Wali Kota Kediri, Achmad Maschut.

Baca Juga :  Menunggu Fleksibilitas Permainan Itu Diterapkan

Lalu, warna ungu? Kalau soal ini bolehlah disebut sebagai kecelakaan. Sekum Persik kala itu, Barnadi, jelas-jelas menyebutkan bahwa warna kostum mereka sejak dulu adalah hitam dan merah. Atas merah, bawahan hitam. Soal mengapa menjadi ungu, Manajer Persik saat itu, yang  kini duduk sebagai wakil ketua umum PSSI, Iwan Budianto yang punya cerita. Kostum ungu lebih akibat keterbatasan budget tim kala mereka mengarungi kompetisi divisi II. Karena hanya bisa membeli satu set jersey, Iwan memilih yang warnanya jarang dipakai oleh klub lain. Warna itu adalah ungu!

Bila merunut pada cerita itu (yang penulis beberkan di buku yang disinggung di awal tulisan) dua hal ini ternyata datang belakangan. Bukan muncul ketika Persik sebagai sebuah perserikatan lahir. Namun justru dua hal itu sangat mengakar hingga saat ini. Toh, itu tak salah juga. Mencari identitas diri bisa kapan saja. Yang penting ada kesepakatan dan diterima oleh semua pihak. Kalaupun ada yang menentang, juga sah-sah saja. Tinggal bagaimana perbedaan itu jadi diskursus dan kemudian muncul satu pemahaman yang bisa diterima semua pihak.

Yang pasti, logo dan warna satu klub harus menggambarkan jiwa dan semangat daerah itu. Logo, warna, serta julukan harus mempresentasikan jati diri klub. Nah, karena Persik adalah mantan perserikatan maka unsur-unsurnya harus mencerminkan karakteristik daerah.

Baca Juga :  Risi Lihat Anak Usia Dini Kecanduan Gadget

Pertanyaannya sekarang, masihkah Persik dianggap sebagai representasi Kediri? Kalau ditanyakan pada Persikmania, sudah pasti. Namun, representasi itu apakah hanya berwujud pada kebanggaan pada penampilan klub saja? Seberapa kuat Persik mampu mewujudkan jati diri orang-orang Kediri? Menjawabnya tentu tidak mudah. Perlu ada telaah mendalam termasuk melihat apakah warga (Kota) Kediri memang merasa memiliki klub ini. Apakah dengan pergeseran bentuk dari perserikatan menjadi  klub profesional masih membuat publik merasa klub ini milik bersama?  

Ibarat satu tubuh, orang Kediri akan merasa sakit bila Persik dicubit. Itulah penggambaran bagaimana rasa memiliki itu ada. Tinggal kita bertanya pada diri sendiri, masih seperti itukah rasa kita?

Pertanyaan ini wajar muncul di era professional seperti sekarang ini. Ketika banjir pemain asing dan luar daerah, masihkah Persik memprioritaskan bakat daerah? Masihkah Persik menggulirkan kompetisi lokal sebagai ruh dari sebuah perserikatan? Atau, apakah Persik mewadahi dalam bentuk akademi atau sekolah sepak bola sebagai ajang menumbuhkan bakat-bakat lokal? Atau, Persik sudah benar-benar professional, yang mengharuskan mereka berpikir bagaimana mencetak prestasi demi prestasi. Pembibitan adalah soal nomor dua, yang penting mendatangkan modal untuk membangun klub yang mapan di persepakbolaan tanah air. Termasuk mengundang pemodal dari luar Kediri juga sah-sah saja. (*)

 

Ketika menyusun buku ‘Persik Juara Sejati’ pada 2006, penulis menelusuri jejak sejarah klub berjuluk Macan Putih ini. Target pertama yang ingin penulis ketahui adalah dari mana julukan dan warna kebesaran tim ini berasal? Sebab, ketika melihat logo Persik sejak perserikatan ini berdiri hingga sekarang, tak ada dua hal tersebut.

Logo Persik jauh dari wajah sangar sang macan berkulit putih itu. Yang ada adalah satu gapura di dalam bangun segilima yang warna dasarnya merah dan hitam. Juga ada simbol bunga teratai di bagian bawah. Logo ini khas perserikatan kala itu yang pasti mengambil unsur-unsur kearifan lokal dari lambang negara Pancasila. Bangun segilima tentu menggambarkan jumlah sila dalam Pancasila. Kemudian, dalam versi lengkapnya ada gambar padi kapas yang khas menggambarkan kemakmuran.

Di logo itu tak ada gambar macan putih. Juga, sama sekali tak memiliki unsur warna ungu. Pertanyaannya, dari mana dua hal itu berasal?

Soal simbol macan putih, yang kemudian jadi julukan Persik, datang jauh setelah perserikatan ini berdiri. Baru muncul pada akhir 1990-an, ketika Persik akhirnya bisa masuk ke divisi II setelah sebelumnya sangat kerasan di divisi paling bontot, divisi III. Persik yang butuh identitas akhirnya memilih salah satu unsur di logo Pemkot Kediri, macan putih. Ide ini datang dari Ketua Umum Persik saat itu, yang juga Wali Kota Kediri, Achmad Maschut.

Baca Juga :  Menunggu Fleksibilitas Permainan Itu Diterapkan

Lalu, warna ungu? Kalau soal ini bolehlah disebut sebagai kecelakaan. Sekum Persik kala itu, Barnadi, jelas-jelas menyebutkan bahwa warna kostum mereka sejak dulu adalah hitam dan merah. Atas merah, bawahan hitam. Soal mengapa menjadi ungu, Manajer Persik saat itu, yang  kini duduk sebagai wakil ketua umum PSSI, Iwan Budianto yang punya cerita. Kostum ungu lebih akibat keterbatasan budget tim kala mereka mengarungi kompetisi divisi II. Karena hanya bisa membeli satu set jersey, Iwan memilih yang warnanya jarang dipakai oleh klub lain. Warna itu adalah ungu!

Bila merunut pada cerita itu (yang penulis beberkan di buku yang disinggung di awal tulisan) dua hal ini ternyata datang belakangan. Bukan muncul ketika Persik sebagai sebuah perserikatan lahir. Namun justru dua hal itu sangat mengakar hingga saat ini. Toh, itu tak salah juga. Mencari identitas diri bisa kapan saja. Yang penting ada kesepakatan dan diterima oleh semua pihak. Kalaupun ada yang menentang, juga sah-sah saja. Tinggal bagaimana perbedaan itu jadi diskursus dan kemudian muncul satu pemahaman yang bisa diterima semua pihak.

Yang pasti, logo dan warna satu klub harus menggambarkan jiwa dan semangat daerah itu. Logo, warna, serta julukan harus mempresentasikan jati diri klub. Nah, karena Persik adalah mantan perserikatan maka unsur-unsurnya harus mencerminkan karakteristik daerah.

Baca Juga :  Polisi Perluas Wilayah Pencarian Pembuang Bayi di Kandat

Pertanyaannya sekarang, masihkah Persik dianggap sebagai representasi Kediri? Kalau ditanyakan pada Persikmania, sudah pasti. Namun, representasi itu apakah hanya berwujud pada kebanggaan pada penampilan klub saja? Seberapa kuat Persik mampu mewujudkan jati diri orang-orang Kediri? Menjawabnya tentu tidak mudah. Perlu ada telaah mendalam termasuk melihat apakah warga (Kota) Kediri memang merasa memiliki klub ini. Apakah dengan pergeseran bentuk dari perserikatan menjadi  klub profesional masih membuat publik merasa klub ini milik bersama?  

Ibarat satu tubuh, orang Kediri akan merasa sakit bila Persik dicubit. Itulah penggambaran bagaimana rasa memiliki itu ada. Tinggal kita bertanya pada diri sendiri, masih seperti itukah rasa kita?

Pertanyaan ini wajar muncul di era professional seperti sekarang ini. Ketika banjir pemain asing dan luar daerah, masihkah Persik memprioritaskan bakat daerah? Masihkah Persik menggulirkan kompetisi lokal sebagai ruh dari sebuah perserikatan? Atau, apakah Persik mewadahi dalam bentuk akademi atau sekolah sepak bola sebagai ajang menumbuhkan bakat-bakat lokal? Atau, Persik sudah benar-benar professional, yang mengharuskan mereka berpikir bagaimana mencetak prestasi demi prestasi. Pembibitan adalah soal nomor dua, yang penting mendatangkan modal untuk membangun klub yang mapan di persepakbolaan tanah air. Termasuk mengundang pemodal dari luar Kediri juga sah-sah saja. (*)

 

Artikel Terkait

Liburan Jadi Ajang Cari Ide Bisnis

Mengapa Selingkar Wilis?

UAS dan Stigma

Most Read

Artikel Terbaru

/