29.2 C
Kediri
Thursday, March 23, 2023

Hukum Haram Wayang

- Advertisement -

Assalamualaikum wr wb, pagelaran wayang yang hingga kini sering digelar di wilayah Karesidenan Kediri. Ternyata, ada ulama yang “mengharamkan” dan dalangnya harus bertaubat. Bagaimana dengan pengrawit dan penontonnya, apakah juga menanggung dosa? Mohon penjelasan. (Krisna, 081907174xxx)

Jawaban:

Saudara Krisna, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas pertanyaan ini. Semoga forum ini menjadi sarana menambah pengetahuan, wawasan, dan cara pandang yang tepat bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di negeri yang kita cintai ini.

Terkait dengan pertanyaan tersebut, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, di era digital ini terjadi pergeseran nilai sosial secara radikal. Matra keintiman berubah menjadi konsumsi publik. Hilangnya batas-batas privasi jadi bagian pergumulan wacana publik menjadi tatanan baru. Itu merupakan konskuensi yang harus diterima bagi semua kalangan.

- Advertisement -

Perbincangan di ruang publik hingga bisikan di kamar tidur yang sangat tertutup sekalipun berubah jadi gelegar berita yang dapat didengar dan dinikmati oleh banyak pihak. Kebisingan dan hiruk-pikuk berita merambat melalui teknologi informasi dan mengubahnya menjadi luar biasa serta tidak terkendali. Setidaknya pertanyaan di atas sangat dipengaruhi oleh latar situasi ini.

Kedua, penelusuran berita terkait haramnya wayang dari beberapa sumber digital justru tidak menunjukkan diksi haram sebagai bagian dari isi berita. Kata haram merupakan olahan penyaji berita untuk memengaruhi dan meningkatkan minat pembaca. Jelasnya, kata haram tidak berada pada transmisi berita yang benar. Namun, sekadar untuk dibaca dan bukan untuk dipahami.

Baca Juga :  Hendak Dahului, Pemuda Asal Pesantren Terserempet Truk

Di sanalah letak permasalahannya. Motif penyaji berita berbeda dengan efek yang ditimbulkannya. Mengacu dari konten berita, baik Youtube maupun ulasan peristiwa tanya jawab seorang ustadz dengan jamaahnya, tidak muncul justifikasi haram atas wayang dan pergelarannya. Namun, ada narasi yang menyatakan Islam seharusnya jadi tradisi dan budaya. Bukan budaya dan tradisi yang diislamisasikan.

Setidaknya narasi tersebut memicu perdebatan. Perdebatan merupakan pertemuan dari berbagai sudut pandang. Sementara sudut pandang didapat dari interpretasi-interpretasi pengujarnya.      

Ketiga, pertanyaan di atas memuat kalimat,”ternyata ada ulama yang mengharamkannya”. Kalimat tersebut tentu mengandung makna lain, selain ulama yang mengharamkannya. Yakni ulama yang tidak mengharamkannya. Dua kubu pendapat memiliki alasan dan pertimbangan masing-masing. Sehingga memiliki konskuensi masing-masing pula.

Ulama yang mengharamkannya harus senantiasa bertindak sesuai dengan keyakinannya sejajar dengan alasan hukum (illat) yang jadi cara menetapkan hukum. Sementara ulama yang tidak mengharamkannya juga bertindak sesuai dasar-dasar hukum yang ditetapkannya.

Keempat, jika narasi ulama yang mengharamkan wayang didasarkan narasi bahwa Islam seharusnya dijadikan tradisi dan budaya, bukan budaya dan tradisi yang diislamisasikan, maka pendapat tersebut perlu diuji kesahihannya.

Baca Juga :  Dinas PPKB Kabupaten Nganjuk Gelar Pembinaan Kader untuk Cegah Stunting

Wayang adalah instrumen dakwah para ulama yang tidak mengharamkannya. Meski artikulasi wayang berasal dari kesenian penganut agama Hindu, namun orientasi dan isinya telah disesuaikan untuk kebutuhan penyebaran agama Islam.

Karena bersifat instrumental, wayang telah mengalami penyesuaian-penyesuaian. Baik secara musikalitas, lakon, dan tujuan. Ibarat rumah, ia bisa ditempati oleh siapa saja. Namun setelah ditempati seorang muslim, perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan dan tidak perlu dirobohkan atau dihilangkan.

Lingkungan sekitar Ka’bah merupakan tempat penyembahan berhala, tempat dilakukannya aktivitas kemusyrikan. Namun setelah fathu Makkah (penaklukan), ia dapat digunakan untuk kepentingan ibadah kaum muslimin. Gedung gereja Hagia Sophia dan Clora di Turki difungsikan sebagai masijid tanpa perlu dirobohkan. Namun cukup dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan sebagai tempat ibadah kaum muslim.

Di masa lalu, Wali Songo memiliki pola serupa dalam memodifikasi ajaran Tantrayana. Perjamuan dengan menghadirkan barang haram seperti arak dan darah manusia dimodifikasi menjadi perhelatan serba-halal. Tidak ada benda haram di tempat itu. Ajaran ini di kemudian hari dikenal sebagai fikih dakwahnya Sunan Bonang. Islamisasi budaya menjadi sesuatu yang sejajar dengan arah pengembangan Islam di Indonesia. Sumber utamanya dari Alquran dan sunnah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. Dr. Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Pascasarjana IAIN Kediri.       

 

 

- Advertisement -

Assalamualaikum wr wb, pagelaran wayang yang hingga kini sering digelar di wilayah Karesidenan Kediri. Ternyata, ada ulama yang “mengharamkan” dan dalangnya harus bertaubat. Bagaimana dengan pengrawit dan penontonnya, apakah juga menanggung dosa? Mohon penjelasan. (Krisna, 081907174xxx)

Jawaban:

Saudara Krisna, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas pertanyaan ini. Semoga forum ini menjadi sarana menambah pengetahuan, wawasan, dan cara pandang yang tepat bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di negeri yang kita cintai ini.

Terkait dengan pertanyaan tersebut, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, di era digital ini terjadi pergeseran nilai sosial secara radikal. Matra keintiman berubah menjadi konsumsi publik. Hilangnya batas-batas privasi jadi bagian pergumulan wacana publik menjadi tatanan baru. Itu merupakan konskuensi yang harus diterima bagi semua kalangan.

Perbincangan di ruang publik hingga bisikan di kamar tidur yang sangat tertutup sekalipun berubah jadi gelegar berita yang dapat didengar dan dinikmati oleh banyak pihak. Kebisingan dan hiruk-pikuk berita merambat melalui teknologi informasi dan mengubahnya menjadi luar biasa serta tidak terkendali. Setidaknya pertanyaan di atas sangat dipengaruhi oleh latar situasi ini.

Kedua, penelusuran berita terkait haramnya wayang dari beberapa sumber digital justru tidak menunjukkan diksi haram sebagai bagian dari isi berita. Kata haram merupakan olahan penyaji berita untuk memengaruhi dan meningkatkan minat pembaca. Jelasnya, kata haram tidak berada pada transmisi berita yang benar. Namun, sekadar untuk dibaca dan bukan untuk dipahami.

Baca Juga :  Apa Gunanya Ujian Nasional?

Di sanalah letak permasalahannya. Motif penyaji berita berbeda dengan efek yang ditimbulkannya. Mengacu dari konten berita, baik Youtube maupun ulasan peristiwa tanya jawab seorang ustadz dengan jamaahnya, tidak muncul justifikasi haram atas wayang dan pergelarannya. Namun, ada narasi yang menyatakan Islam seharusnya jadi tradisi dan budaya. Bukan budaya dan tradisi yang diislamisasikan.

Setidaknya narasi tersebut memicu perdebatan. Perdebatan merupakan pertemuan dari berbagai sudut pandang. Sementara sudut pandang didapat dari interpretasi-interpretasi pengujarnya.      

Ketiga, pertanyaan di atas memuat kalimat,”ternyata ada ulama yang mengharamkannya”. Kalimat tersebut tentu mengandung makna lain, selain ulama yang mengharamkannya. Yakni ulama yang tidak mengharamkannya. Dua kubu pendapat memiliki alasan dan pertimbangan masing-masing. Sehingga memiliki konskuensi masing-masing pula.

Ulama yang mengharamkannya harus senantiasa bertindak sesuai dengan keyakinannya sejajar dengan alasan hukum (illat) yang jadi cara menetapkan hukum. Sementara ulama yang tidak mengharamkannya juga bertindak sesuai dasar-dasar hukum yang ditetapkannya.

Keempat, jika narasi ulama yang mengharamkan wayang didasarkan narasi bahwa Islam seharusnya dijadikan tradisi dan budaya, bukan budaya dan tradisi yang diislamisasikan, maka pendapat tersebut perlu diuji kesahihannya.

Baca Juga :  Jelang Kickoff Liga 1, Persik Akan Boyong Semua Pemain ke Jakarta

Wayang adalah instrumen dakwah para ulama yang tidak mengharamkannya. Meski artikulasi wayang berasal dari kesenian penganut agama Hindu, namun orientasi dan isinya telah disesuaikan untuk kebutuhan penyebaran agama Islam.

Karena bersifat instrumental, wayang telah mengalami penyesuaian-penyesuaian. Baik secara musikalitas, lakon, dan tujuan. Ibarat rumah, ia bisa ditempati oleh siapa saja. Namun setelah ditempati seorang muslim, perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan dan tidak perlu dirobohkan atau dihilangkan.

Lingkungan sekitar Ka’bah merupakan tempat penyembahan berhala, tempat dilakukannya aktivitas kemusyrikan. Namun setelah fathu Makkah (penaklukan), ia dapat digunakan untuk kepentingan ibadah kaum muslimin. Gedung gereja Hagia Sophia dan Clora di Turki difungsikan sebagai masijid tanpa perlu dirobohkan. Namun cukup dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan sebagai tempat ibadah kaum muslim.

Di masa lalu, Wali Songo memiliki pola serupa dalam memodifikasi ajaran Tantrayana. Perjamuan dengan menghadirkan barang haram seperti arak dan darah manusia dimodifikasi menjadi perhelatan serba-halal. Tidak ada benda haram di tempat itu. Ajaran ini di kemudian hari dikenal sebagai fikih dakwahnya Sunan Bonang. Islamisasi budaya menjadi sesuatu yang sejajar dengan arah pengembangan Islam di Indonesia. Sumber utamanya dari Alquran dan sunnah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. Dr. Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Pascasarjana IAIN Kediri.       

 

 

Artikel Terkait

Liburan Jadi Ajang Cari Ide Bisnis

Mengapa Selingkar Wilis?

UAS dan Stigma

Most Read


Artikel Terbaru

/