Terganggukah mata Anda, ketika menyaksikan beberapa gedung yang sudah mangkrak bertahun-tahun lamanya di Kota Kediri? Apalagi gedung-gedung mangkrak itu berlokasi di tengah kota. Kalau saya terganggu. Keberadaan gedung-gedung mangkrak itu bagi saya cukup merusak pemandangan kota. Wajah kota menjadi kurang elok.
Dari beberapa gedung mangkrak itu ada yang miliknya Pemkot Kediri. Di antaranya eks gedung Bioskop Jaya di Jl Brawijaya, eks lahan Pacific Motor di Jl Stasiun dan eks gedung Dhoho Plaza 2 di sebelah selatan Alun-Alun.
Berarti, gedung-gedung yang mangkrak itu adalah aset negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan, bahwa aset negara berupa gedung dan bangunan adalah sumber daya ekonomi yang harus dikelola dengan baik, sehingga menghasilkan manfaat. Kata dia, ketika aset negara tidak digunakan secara optimal, maka aset tersebut menjadi tidak produktif, kehilangan potensi ekonomi, bahkan bisa menimbulkan beban baru, seperti kerusakan, atau dikuasai pihak lain. Ini yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai “cost of doing nothing”, yakni beban yang timbul karena tidak berbuat apa-apa. Dan ini akan semakin membebani keuangan negara.
Ketika gedung-gedung milik Pemkot Kediri itu dibiarkan mangkrak, hingga bertahun-tahun lamanya, berarti sama halnya dengan membiarkan terjadinya “cost of doing nothing”. Disadari atau tidak, berarti Pemkot Kediri membiarkan terjadinya beban karena tidak berbuat apa-apa. Dan ini menurut Sri Mulyani, akan membebani keuangan negara.
Sri Mulyani memberikan contoh beberapa aset berupa gedung atau properti milik negara di sejumlah daerah yang semula tak terurus, terbengkalai dan sempat mangkrak beberapa tahun, kemudian diperbaiki, dipoles dan direnovasi, hingga menjadi bangunan yang jauh lebih baik. Selanjutnya bisa dimanfaatkan, sehingga menghasilkan nilai ekonomi.
Dia menyebut aset properti yang ada di Jl Dipati Ukur Kota Bandung. Gedung yang awalnya sempat mangkrak bertahun-tahun itu, dipoles, diperbaiki, dan kini menjadi co-working space.
Satu lagi aset milik negara yang mangkrak lebih dari 20 tahun, adalah gedung eks Kantor Cabang Bank Alfa di Cikini. Akibat krisis moneter yang terjadi pada 1998, Bank Alfa dilikuidasi. Sehingga gedung yang ditempati harus dikosongkan, dan menjadi milik negara. Selama puluhan tahun, gedung itu dibiarkan mangkrak, tak terurus. Lama-lama gedung itu dihuni oleh pihak yang tidak berhak, dan kondisinya tidak terawat. Oleh Sri Mulyani, gedung itu lantas diperbaiki, direnovasi total, dan dikerjasamakan pengelolaannya dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Gedung yang mangkrak puluhan tahun itu sekarang menjadi “Gedung Dhanadyaksa Cikini”.
Untuk menangani aset-aset negara berupa gedung atau bangunan yang mangkrak ini, Kementerian Keuangan membentuk Lembaga Manajemen Aset (LMAN). Ini adalah semacam Badan Layanan Umum (BLU) yang dalam beroperasi bekerjasama dengan Dirjen Pengelola Kekayaan Negara.
“LMAN adalah eksekutor pengelola barang yang mendorong aset menjadi produktif. Dilengkapi dengan pasukan multi spesialisasi yang mayoritas adalah generasi milenial,” kata Sri Mulyani, pada suatu kesempatan.
Jika aset negara produktif, maka aset akan memberikan kontribusi dan meringankan keuangan negara.
Nah, Pemkot Kediri seharusnya meniru upaya yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan itu. Nggak perlu membentuk lembaga baru. Bukan kah dalam struktur birokrasi di Pemkot Kediri, sudah ada BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah)? Badan ini lah yang harusnya lebih diberdayakan, dan lebih difungsikan dalam mengelola aset-aset daerah.
Tiga gedung mangkrak milik Pemkot Kediri ini: Eks gedung bioskop Jaya, eks lahan Pacific Motor dan eks gedung Dhoho Plaza 2 ini cukup mencolok keberadaanya, karena terletak di pusat Kota Kediri. Sangat disayangkan, jika terus dibiarkan mangkrak.
Yang sangat memprihatinkan, setiap kali kita mengetik kalimat “tempat angker di Kota Kediri” di Google, bekas gedung bioskop Jaya itu selalu berada di deretan tempat-tempat terangker di Kota Kediri. Ini (sebenarnya) sungguh memalukan.
Tugas kepala daerah lah yang harusnya menangani aset-aset mangkrak itu, agar menjadi aset-aset yang lebih produktif. Di sini lah pentingnya “leadership”. Memang, menangani dan memberdayakan aset-aset mangkrak, bukan semudah membalikkan tangan. Apalagi, jika mangkraknya sudah bertahun-tahun lamanya. Apalagi, jika itu terkait dengan DPRD. Apalagi, jika itu berhubungan dengan persoalan hukum.
Tapi, dengan “leadership” yang baik, betapa pun rumitnya persoalan, pasti akan bisa dicarikan solusinya. Minimal bisa diurai persoalan tersebut. Seorang pemimpin, tidak cukup hanya berbekal popularitas belaka. Tapi, ketika seorang pemimpin sudah mendapatkan jabatannya, sudah mendapatkan kewenangannya, maka harus bisa memanfaatkan jabatan dan kewenangannya itu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi, betapa pun rumitnya persoalan tersebut. Di sini lah pentingnya inovasi, kreasi dan solusi. Seorang pemimpin harus punya tiga senjata itu. Dengan tiga senjata ini, persoalan yang rumit, ruwet dan mbulet, akan bisa diatasi dan dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)