Sudah saatnya para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di kawasan Simpang Lima Gumul (SLG) Kabupaten Kediri ditertibkan, ditata, dan diberikan tempat jualan yang layak dan nyaman. Apalagi, jumlahnya sudah mencapai sekitar 900-an (data Bapenda). Apalagi, dari jumlah itu, baru sekitar 400-an PKLyang punya tempat berjualan permanen. (Radar Kediri, 05/05/23).
Memang, tidak mudah menata, mengatur, dan menertibkan PKL. Menurut saya, kepala daerah yang hebat, salah satunya dapat diukur dari seberapa dia mampu menata, mengatur, dan menertibkan PKL di wilayahnya.
Saya pernah tinggal di Surabaya, sejak 1997 – 2010. Lalu saya tinggal di Kota Malang, sejak 2010 hingga pertengahan 2021. Dan sekarang saya ditugaskan di Kediri. Meliputi Kota Kediri, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Nganjuk. Dari daerah-daerah yang saya sebut itu, yang menurut saya cukup signifikan dalam menata, mengatur dan menertibkan PKL, baru Kota Surabaya. Saya merasakan bedanya, dulu saat saya tinggal di Surabaya dengan Kota Surabaya sekarang. Beberapa kawasan kumuh dan semrawut yang dulu banyak dihuni para PKL, kini sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada PKL, kondisinya jauh lebih rapi dan tertata. Di Kota Surabaya kini terdapat beberapa sentra PKL yang tempatnya dibikin cukup layak bagi yang berjualan, dan cukup nyaman bagi yang membeli.
Hampir 11 tahun saya tinggal di Kota Malang, PKL-nya belum diatur, ditata, dan ditertibkan sebagaimana seharusnya. Begitu pula dengan Kota Kediri, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Nganjuk.
PKL di Kota Kediri masih dibiarkan apa adanya. Belum ditata, diatur, dan ditertibkan secara serius. Begitu pula dengan PKL di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Nganjuk.
Ini menunjukkan bahwa menata, mengatur, dan menertibkan PKL itu tidaklah mudah. Makanya, jika ada kepala daerah yang sukses menata, mengatur dan menertibkan PKL di wilayahnya, berarti dia adalah kepala daerah yang hebat. Kepala daerah yang “tidak biasanya”.
Contoh kepala daerah yang sukses menata, mengatur, dan menertibkan PKL di wilayahnya adalah Joko Widodo (Jokowi), ketika dia menjadi Wali Kota Solo. Kala itu, dengan komunikasi yang dia lakukan, Jokowi sukses menata (memindahkan) sekitar 900 PKL dari Taman Banjarsari di pusat Kota Solo, menuju ke lokasi baru di Pasar Klitikan. Jika pada umumnya proses relokasi seperti ini kerap diwarnai bentrokan dan konflik, di Solo hal itu tidak terjadi. Relokasi PKL di bawah kepemimpinan Jokowi, berlangsung aman dan damai. Sejak saat itulah, Jokowi dijuluki “wali kota PKL”.
Di Kota Surabaya, Tri Rismaharini, yang saat itu menjadi Wali Kota Surabaya, juga sukses menata, mengatur, dan menertibkan PKL. Mulai dari menata ulang kawasan-kawasan PKL menjadi lebih rapi, tertib, dan nyaman hingga merelokasi para PKL. Ini semua sukses dilakukan oleh Risma.
PKL adalah entitas ekonomi, yang masuk dalam klaster sektor informal. Eksistensinya selama ini dikesankan dengan hal-hal yang negatif. Misalnya, dikesankan mengotori pemandangan dan keindahan. Mengotori lingkungan. Menyebabkan lalu-lintas macet. Dan mengganggu ketertiban umum.
Kondisi mereka pun sebenarnya cukup rapuh. Misalnya, pengetahuan dagang mereka rata-rata rendah. Mutu dagangan rendah. Keuntungan kecil. Modal kurang. Akses terhadap sumber modal tidak ada. Dan posisinya yang selalu lemah terhadap konflik hukum.
Tapi, terlepas dari kesan yang negatif dan kondisinya yang rapuh itu, para PKL punya daya juang yang tinggi. “Fighting spirit-nya” tak diragukan lagi. Mereka ulet, tangguh dan mampu bertahan dalam kondisi sesulit apa pun. Ketika entitas bisnis di sektor formal kelimpungan gara-gara dihantam berbagai krisis, para PKL kebanyakan tak terpengaruh.
Makanya, para PKL harus diberdayakan. Harus dikuatkan. Dan para PKL harus bisa diajak “hijrah” dari pelaku bisnis di sektor informal, menjadi pelaku bisnis di sektor formal. Ini, sekali lagi, memang tidak mudah untuk dilakukan. Tapi, meski tidak mudah, bukan berarti tidak bisa dilakukan oleh seorang kepala daerah. Sangat tergantung pada kemauan dari si kepala daerah itu.
Jokowi dan Risma sukses menata, mengatur dan menertibkan PKL di wilayahnya, karena keduanya sama-sama punya kemauan yang keras. Dan keduanya sama-sama menggunakan pendekatan “kemanusiaan”. Baik Jokowi maupun Risma, sama-sama melihat PKL bukan hanya sebagai objek. Tapi, juga memosisikan PKL sebagai subjek. Dalam melakukan penataan, pengaturan, dan penertiban, selalu memposisikan PKL sebagai “manusia” yang harus didengarkan keluhan-keluhannya, dan dihargai pendapat dan kemauannya. Selanjutnya, dicarikan solusi yang terbaik, win-win solution, agar kepentingan pemerintah sebagai pihak yang menata, mengatur dan menertibkan, bisa dikompromikan dengan kepentingan PKL sebagai pihak yang ditata, diatur, dan ditertibkan.
Sebagai warga Kediri, kita tunggu, apakah para pemimpin kita mau atau tidak, menata, mengatur dan menertibkan PKL di wilayahnya. (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)