Dua jenderal ini punya beberapa kesamaan. Sama-sama berbintang dua. Sama-sama karirnya termasuk cepat menanjak, dibandingkan dengan kawan-kawannya yang satu angkatan. Sama-sama pernah menduduki jabatan yang sangat strategis. Sama-sama kesandung masalah hukum di puncak karirnya masing-masing.
Dua jenderal bintang dua itu adalah: Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa.
Jabatan terakhir Ferdy Sambo sebelum kesandung kasus hukum adalah Kadiv Propam Polri. Dia sudah divonis hukuman mati atas perannya sebagai otak pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, ajudannya sendiri.
Sedangkan jabatan Teddy Minahasa sebelum dinyatakan sebagai tersangka dan terdakwa dalam kasus peredaran narkotika jenis sabu, adalah Kapolda Sumatera Barat, dalam proses mutasi menjadi Kapolda Jatim.
Kedua jenderal itu ketika proses sidang di pengadilan, sama-sama menarik perhatian publik. Bisa jadi, karena keduanya sama-sama jenderal polisi. Sama-sama paham dan mengerti hukum, lalu didakwa melanggar hukum, dan kasus hukumnya tergolong sama-sama beratnya. Jadi, baik hakim, pembela atau penasihat hukum, penuntut umum, dan terdakwa, semuanya sama-sama paham dan mengerti hukum. Inilah barangkali yang membuat persidangan kedua jenderal itu sangat menarik perhatian publik.
Ferdy Sambo dalam proses sidangnya, berusaha keras agar terhindar dari tuduhan sebagai otak pembunuhan berencana. Di pengadilan, dia bersikukuh, membantah telah memerintahkan untuk menembak Yosua. Dia hanya memerintahkan untuk menghajar. Bukan menembak. Dan dia juga mengatakan berkali-kali, tindakannya itu dipicu karena emosi, karena istrinya telah dilecehkan oleh Brigadir Yosua.
Berbagai kesaksian, baik dari dirinya, dari istrinya, dari para sopir dan pembantunya, semuanya diarahkan agar menguatkan skenario, bahwa matinya Brigadir Yosua itu karena saling tembak dengan Bharada Richard Eliezer, ajudan Ferdy lainnya. Bharada Richardlah yang akhirnya membuka skenario rekayasa dari Ferdy Sambo. Dari kesaksian Bharada Richard, kebohongan demi kebohongan yang disusun oleh Ferdy Sambo akhirnya terbongkar. Dan hakim meyakini, bahwa Ferdy Sambo telah berbohong, dan juga meyakini bahwa Ferdy Sambo adalah otak atas pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri, Brigadir Yosua.
Saat ini, Teddy Minahasa sedang dalam proses persidangan. Dia dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus peredaran narkoba jenis Sabu. Tapi, di dalam persidangan, Teddy bersikeras menyatakan tidak terlibat. Dia menolak semua tuduhan yang diarahkan kepadanya. Bahkan, dia mengatakan di depan persidangan, bahwa ada pihak lain yang menjebaknya, dan ingin membunuh karakternya.
Nama Teddy Minahasa dinyatakan terlibat, setelah petugas menangkap AKBP Dody Prawiranegara dan Linda Pujiastuti dalam kasus peredaran narkotika jenis sabu. AKBP Dody adalah mantan Kapolres Bukittinggi, anak buah Teddy saat dia menjadi Kapolda Sumbar. Sedangkan Linda adalah teman Teddy, yang dikenal sejak 2013. Baik Dody maupun Linda, ketika ditangkap, sama-sama mencokot nama Teddy.
Perdebatan seru terjadi ketika Teddy, Dody dan Linda bertemu dalam persidangan. Mereka saling membantah. Teddy membantah keterangan Dody dan Linda. Sebaliknya, Dody dan Linda juga membantah keterangannya Teddy.
Kita yang menyaksikan proses persidangan itu, bisa jadi dibuat bingung. Mana dari mereka yang benar? Atau, mana dari mereka yang berbohong? Jika mereka sama-sama bersikukuh dengan keterangannya masing-masing, dan bersikukuh bahwa keterangannya adalah benar, berarti ada di antara mereka yang berbohong. Sebab, keterangan mereka saling bertolak belakang. Padahal, sebelum ketiganya dimintai keterangan, semuanya sudah disumpah atas nama Tuhan. Agar berbicara dengan jujur.
Di sinilah, betapa pentingnya kedudukan para hakim. Merekalah yang menjadi penentu. Merekalah yang akan menjadi wakil Tuhan di dunia, untuk menetapkan dan menghukum orang yang bersalah.
Bisa jadi, dalam kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, para hakim harus benar-benar bekerja ekstra keras menggunakan akal dan pikirannya. Menggunakan pengetahuan dan pengalamannya. Dan terpenting, menggunakan hati nuraninya, agar benar-benar bisa memutus secara adil. Sebab, yang diadili adalah seorang jenderal polisi, yang sangat paham dan mengerti seluk-beluknya hukum. Polisi, apalagi seorang jenderal, bahkan sangat tahu, celah-celahnya hukum. Sangat paham aturan dan ketentuan di lingkungan tempatnya bertugas. Sehingga, ketika seorang jenderal polisi didakwa melanggar hukum, ada kemungkinan dia akan menggunakan segala kemampuannya, pengetahuannya, dan daya upayanya, agar bisa lolos dari hukum yang menjeratnya. Maka, sekali lagi, di sinilah betapa pentingnya kedudukan hakim. Mereka harus lebih pintar dari jenderal polisi. Dan para hakim, harus peka terhadap suara masyarakat yang berkembang. Sebab, bagaimana pun juga, suara masyarakat adalah suara Tuhan.
Dalam kasus Ferdy Sambo, keputusan hakim sudah mencerminkan suara masyarakat. Kita berharap, dalam kasus Teddy Minahasa, keadilan benar-benar bisa ditegakkan, linier dengan suara masyarakat.
Kata Clarence Seward Darrow, pengacara sangat terkenal di Amerika Serikat (1857 – 1938): “Justice has nothing to do with what goes on in a courtroom; Justice is what comes out of a courtroom” (Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dalam ruang sidang. Keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu). (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)