25.1 C
Kediri
Tuesday, March 21, 2023

Maslow dan Masyarakat Kita

- Advertisement -

Abraham Harold Maslow, yang juga pelopor aliran psikologi humanitik, membagi kebutuhan manusia dalam hirarki piramida. Bertingkat mulai dasar hingga puncak. Mulai physiological needs hingga self actualization alias kebutuhan akan aktualisasi diri. Dalam teorinya yang terus dipakai hingga kini itu, Maslow menyebut bahwa kebutuhan itu berlangsung dalam hirarki atau tingkatan. Artinya, kebutuhan yang paling utama berada di dasar piramida. Baru setelah kebutuhan paling bawah terpenuhi maka perlu pemenuhan di atasnya.

Kebutuhan yang paling mendasar, bagi manusia, adalah kebutuhan fisiologis. Di dalamnya termasuk kebutuhan akan sandang dan pangan. Kebutuhan inilah yang sangat pokok. Yang menjadi basic dari kebutuhan lain.

Secara kodrati, manusia adalah makhluk fana. Makhluk yang tak kekal. Karena itu mereka butuh makan, minum, dan segala yang membuat mereka bisa melanggengkan kehidupan. Tentu, beda dengan hewan, manusia berusaha memenuhi kebutuhannya dengan sangat ‘manusiawi’. Mereka tak berburu mangsa untuk mencari makan. Mereka tentu berusaha mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Meskipun seringkali, ketika mencari pekerjaan atau terlibat dalam pekerjaan itu manusia juga tak mengindahkan sisi-sisi kemanusiaannya.

Bagi sebagian (besar) masyarakat, mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya adalah perkara berat. Mereka tak hanya kerja keras tapi juga harus ‘mengabdikan’ seluruh potensi diri mereka. Baik itu fisik maupun pikiran. Bergelut dalam kerja yang menguras tenaga dan pikiran adalah keseharian bagi mereka. Itupun, belum tentu menghasilkan uang yang berlebih. Hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Baca Juga :  Survival of The Fittest

Jangan heran bila kelompok ini sudah tak lagi berpikir tentang kebutuhan-kebutuhan lain. Tak terpikirkan bagi mereka bagaimana cara mendapatkan rasa aman, mendapatkan kebutuhan kasih sayang, meraih kebutuhan akan penghargaan, dan mencapai aktualisasi diri. Yang terpikirkan adalah bagaimana agar anak dan istri mereka bisa mendapat makan, sandang, dan tempat untuk berteduh.

- Advertisement -

Wajar bila kemudian muncul kelompok masyarakat yang hanya melihat suatu hal pada sisi tersebut. Sisi yang menurut mereka mengenyangkan. Walaupun untuk sesaat. Mereka tidak mau (atau tidak mampu) untuk mengolah bahwa ada kelompok yang hanya memanfaatkan mereka dengan pemenuhan kebutuhan itu. Justru, mereka bakal terusik bila kebutuhan dasar tersebut diganggu.

Hasrat kelompok masyarakat yang lebih berpikir pada kebutuhan fisiologis inilah yang mampu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pengejar kepentingan. Kelompok ini akan berusaha memanipulasi pemikiran masyarakat dalam golongan bawah ini untuk tercapainya maksud. Di antaranya adalah kepentingan untuk mencapai posisi tertentu. Sebab, kelompok ini memang sudah melepaskan diri dari kebutuhan dasar. Yang mereka inginkan adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.

Contoh konkritnya adalah dalam pemilihan-pemilihan politik. Mulai tingkat desa hingga nasional, upaya memikat pemilih dengan imbalan uang yang tak seberapa masih saja menjamur. Ironisnya, pemilik suara itu juga tak merasa terganggu dengan hal itu. Sebaliknya mereka malah senang. Imbalan seratus, dua ratus ribu rupiah tetap mereka gadaikan untuk bertahun-tahun kepemimpinan yang sering tak sesuai harapan.

Baca Juga :  Jaksa Tahan Kades Sombron

Terancamnya kebutuhan fisiologis itu juga sering memunculkan ontran-ontran. Demo besar bisa terjadi bila hal itu menyangkut soal urusan perut. Salah satunya adalah persoalan upah minimum. Persoalan ini akan menjadi pemicu terjadinya gesekan antara pekerja dan penguasa (yang juga mewakili pengusaha).

Apalagi bila pemerintah juga kurang peka pada needs yang dibutuhkan rakyatnya. Terlepas dari situasi sulit di bidang ekonomi yang terjadi akibat pandemi, masyarakat sangat membutuhkan dukungan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis ini. Sebab, tak semua orang bisa berusaha atau berwirausaha. Sebagian lagi sangat tergantung pada pekerjaan sebagai buruh atau karyawan. Yang tentu saja, mereka ingin mendapatkan upah yang layak. Upah yang bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Sedangkan sekarang, upah yang mereka terima terbungkus pada frasa upah minimum. Upah yang rendah. Upah yang belum mampu mengangkat tingkat kebutuhan mereka dari lantai dasar teori Maslow. Maka, jangan heran bila masyarakat kita lebih suka ada calon kades yang memberi uang Rp 100 ribu tanpa ada program bagus selama enam tahun dibandingkan calon kades yang tak bisa memberi uang tapi menghadirkan program konkret dan integritas tinggi sebagai pemimpin. (*)

- Advertisement -

Abraham Harold Maslow, yang juga pelopor aliran psikologi humanitik, membagi kebutuhan manusia dalam hirarki piramida. Bertingkat mulai dasar hingga puncak. Mulai physiological needs hingga self actualization alias kebutuhan akan aktualisasi diri. Dalam teorinya yang terus dipakai hingga kini itu, Maslow menyebut bahwa kebutuhan itu berlangsung dalam hirarki atau tingkatan. Artinya, kebutuhan yang paling utama berada di dasar piramida. Baru setelah kebutuhan paling bawah terpenuhi maka perlu pemenuhan di atasnya.

Kebutuhan yang paling mendasar, bagi manusia, adalah kebutuhan fisiologis. Di dalamnya termasuk kebutuhan akan sandang dan pangan. Kebutuhan inilah yang sangat pokok. Yang menjadi basic dari kebutuhan lain.

Secara kodrati, manusia adalah makhluk fana. Makhluk yang tak kekal. Karena itu mereka butuh makan, minum, dan segala yang membuat mereka bisa melanggengkan kehidupan. Tentu, beda dengan hewan, manusia berusaha memenuhi kebutuhannya dengan sangat ‘manusiawi’. Mereka tak berburu mangsa untuk mencari makan. Mereka tentu berusaha mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Meskipun seringkali, ketika mencari pekerjaan atau terlibat dalam pekerjaan itu manusia juga tak mengindahkan sisi-sisi kemanusiaannya.

Bagi sebagian (besar) masyarakat, mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya adalah perkara berat. Mereka tak hanya kerja keras tapi juga harus ‘mengabdikan’ seluruh potensi diri mereka. Baik itu fisik maupun pikiran. Bergelut dalam kerja yang menguras tenaga dan pikiran adalah keseharian bagi mereka. Itupun, belum tentu menghasilkan uang yang berlebih. Hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Baca Juga :  Pilkades di Kediri; Awas, Politik Uang Gentayangan!

Jangan heran bila kelompok ini sudah tak lagi berpikir tentang kebutuhan-kebutuhan lain. Tak terpikirkan bagi mereka bagaimana cara mendapatkan rasa aman, mendapatkan kebutuhan kasih sayang, meraih kebutuhan akan penghargaan, dan mencapai aktualisasi diri. Yang terpikirkan adalah bagaimana agar anak dan istri mereka bisa mendapat makan, sandang, dan tempat untuk berteduh.

Wajar bila kemudian muncul kelompok masyarakat yang hanya melihat suatu hal pada sisi tersebut. Sisi yang menurut mereka mengenyangkan. Walaupun untuk sesaat. Mereka tidak mau (atau tidak mampu) untuk mengolah bahwa ada kelompok yang hanya memanfaatkan mereka dengan pemenuhan kebutuhan itu. Justru, mereka bakal terusik bila kebutuhan dasar tersebut diganggu.

Hasrat kelompok masyarakat yang lebih berpikir pada kebutuhan fisiologis inilah yang mampu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pengejar kepentingan. Kelompok ini akan berusaha memanipulasi pemikiran masyarakat dalam golongan bawah ini untuk tercapainya maksud. Di antaranya adalah kepentingan untuk mencapai posisi tertentu. Sebab, kelompok ini memang sudah melepaskan diri dari kebutuhan dasar. Yang mereka inginkan adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.

Contoh konkritnya adalah dalam pemilihan-pemilihan politik. Mulai tingkat desa hingga nasional, upaya memikat pemilih dengan imbalan uang yang tak seberapa masih saja menjamur. Ironisnya, pemilik suara itu juga tak merasa terganggu dengan hal itu. Sebaliknya mereka malah senang. Imbalan seratus, dua ratus ribu rupiah tetap mereka gadaikan untuk bertahun-tahun kepemimpinan yang sering tak sesuai harapan.

Baca Juga :  Survival of The Fittest

Terancamnya kebutuhan fisiologis itu juga sering memunculkan ontran-ontran. Demo besar bisa terjadi bila hal itu menyangkut soal urusan perut. Salah satunya adalah persoalan upah minimum. Persoalan ini akan menjadi pemicu terjadinya gesekan antara pekerja dan penguasa (yang juga mewakili pengusaha).

Apalagi bila pemerintah juga kurang peka pada needs yang dibutuhkan rakyatnya. Terlepas dari situasi sulit di bidang ekonomi yang terjadi akibat pandemi, masyarakat sangat membutuhkan dukungan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis ini. Sebab, tak semua orang bisa berusaha atau berwirausaha. Sebagian lagi sangat tergantung pada pekerjaan sebagai buruh atau karyawan. Yang tentu saja, mereka ingin mendapatkan upah yang layak. Upah yang bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Sedangkan sekarang, upah yang mereka terima terbungkus pada frasa upah minimum. Upah yang rendah. Upah yang belum mampu mengangkat tingkat kebutuhan mereka dari lantai dasar teori Maslow. Maka, jangan heran bila masyarakat kita lebih suka ada calon kades yang memberi uang Rp 100 ribu tanpa ada program bagus selama enam tahun dibandingkan calon kades yang tak bisa memberi uang tapi menghadirkan program konkret dan integritas tinggi sebagai pemimpin. (*)

Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru

/