24.9 C
Kediri
Sunday, May 28, 2023

Kebangkitan Nasional: Refleksi agar Perguruan Tinggi Dekat dengan Masyarakat

Secara resmi telah 115 tahun yang lalu bangsa ini menggelorakan semangat nasionalisme di tengah-tengah masa penjajahan Belanda. Sebuah keberaniaan anak-anak muda untuk bangkit menentang kolonialisme dan melawan rasa kesukuan yang masih kuat saat itu. Semangat kebangsaan inilah yang mengawal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan terberat saat Boedi Oetomo berdiri adalah bagaimana bangsa ini bisa terlepas dari kolonialisme dengan pendekatan diplomatik. Saat ini di era yang berbeda, saat kita sudah merdeka, dan di era globalisasi tantangan bangsa ini ternyata tidak jauh berbeda dengan masa itu. Jika di masa Boedi Oetomo persoalannya adalah sukuisme yang masih kuat, justru saat ini pemicunya adalah globalisasi. Di masa sebelum kemerdekaan diperlukan semangat nasionalisme dan sekarang pun yang kita perlukan adalah nasionalisme.

Globaliasi mau tidak mau akan mengancam nasionalisme. Nilai-nilai budaya Indonesia yang luhur akan terancam oleh nilai-nilai universal. Terhadap hal ini apa yang harus kita perbuat sebagai warga bangsa Indonesia? Anak-anak muda kita jangan sampai dininabobokkan oleh kenikmatan globalisasi. Karena itu, sangatlah relevan bila kita diingatkan oleh imbauan agar generasi ini bersemangat untuk bangkit, yang merupakan tema Hari kebangkitan Nasional tahun ini. Tentu, untuk itu, kita harus berkiprah di bidang masing-masing untuk mengisi negara kemerdekaan ini dengan semangat nasionalisme yang tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Nilai-nilai universal yang sesuai dengan nilai budaya kita dapat kita ambil sebagai pelengkap. Selanjutnya, bagaimana kiprah dan peran Perguruan Tinggi? Apa yang harus diperbuat oleh Perguruan Tinggi?

Kementerian Pendidikan, Kebudaan, Riset, dan Teknologi telah menabuh genderang agar Perguruan Tinggi di Indonesia mampu berbicara di ajang internasional. Karena itu, program-program internasionalisasi terus dirangsang untuk dilaksanakan dengan berbagai insentif, mulai dari akreditasi internasional untuk program studi, kelas internasional, pengiriman mahasiswa dan dosen ke kelompok Perguruan Tinggi ranking 100 dunia di luar negeri, International Credit Transfer, riset kolaboratif dosen Indonesia dengan dosen Perguruan Tinggi luar negeri, pengabdian kepada masyarakat internasional, konferensi internasional, joint publication, program double/joint degree, kerja sama dengan Perguruan Tinggi/institusi/industri luar negeri, publikasi pada jurnal internasional bereputasi sebagai syarat utama untuk calon guru besar, serta program-program inovatif yang dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi. Semangat ingin menyejajarkan bangsa ini dengan bangsa lain yang telah maju tentu sebuah upaya yang mulia. Namun, adakah ekses-ekses lain yang akan hilang akibat upaya tersebut? Apalagi, bila kita mengingat perguruan tinggi di Indonesia sangatlah banyak dengan tingkat diversifikasi yang luar biasa beragamnya.

Jika banyak kalangan ingin meruntuhkan julukan ‘Perguruan Tinggi sebagai Menara Gading’, termasuk warga kampus, faktanya kita masih melihat saat ini bahwa Perguruan Tinggi masih sebagai Menara Gading. Perguruan Tinggi masih menampakkan aktivitas yang terpisahkan jauh dari realitas sosial di sekitarnya. Apalagi, kita berharap bahwa kampus akan dapat memberikan kontribusi kreatif pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Sosiolog Imam Prasodjo (2021) juga pernah menyampaikan kekhawatiran terhadap hal ini karena dirinya sudah banyak mendengar kritik dari luar kampus bahwa program-program kampus banyak yang monoton dan kurang memberikan inspirasi. Semangat solutif yang sebenarnya selalu tumbuh di kalangan mahasiswa dan sivitas akademika yang lain tak tersalurkan dengan baik ke dalam program-program sosial inovatif.

Kata kunci yang penting dari pernyataan tersebut adalah bagaimana kampus dapat memberikan kontribusi kreatif pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Untuk itu, perlunya Perguruan Tinggi mendekatkan diri dengan masyarakat. Sebelum kita diskusikan masalah ini, ada baiknya Perguruan Tinggi melakukan evaluasi diri apa saja yang sudah dilakukan kampus kepada masyarakatnya. Jika kita menggunakan tridarma perguruan tinggi sebagai acuan kegiatannya, untuk darma pertama, yaitu pendidikan, kita akan melihat bahwa darma pendidikan umumnya masih dilakukan di kampus. Sekarang ini saja baru terasa mahasiswa lebih lama ‘belajar di masyarakat’ sejak ada kebijakan Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim tentang Merdeka Belajar yang memberikan kesempatan kepada mahasiwa untuk belajar di luar kampus selama dua semester, yang sebelumnya tidak ada regulasi yang mengatur lamanya mahasiswa kita belajar di luar kampusnya. Dengan demikian, kita melihat bahwa seakan-akan masyarakatlah yang memerlukan Perguruan Tinggi, masyarakat (mahasiswa) yang harus masuk dalam komunitas kampus. Dengan kata lain, masyarakatlah yang membutuhkan kampus. Pada darma kedua, yakni penelitian. Darma ini justru menampakkan keakuan Perguruan Tinggi karena hampir semua aktivitasnya dilakukan di kampus. Masyarakat hanyalah sebagai objek penelitian. Pada darma ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat; di sini baru kita rasakan kampus hadir di tengah-tengah masyarakat. Namun, sebagian desain kegiatan ini sepenuhnya didasarkan kepada kemauan kampus, belum pada apa yang diperlukan masyarakat. Dari sudut pandang pengamalan tridarma, tampaknya dominasi konteksnya adalah kampus masih belum dekat dengan masyarakatnya.

Baca Juga :  Tropicana Slim Gelar Edukasi dan Pemeriksaan Kesehatan Massal

Di samping itu, dari pandangan masyarakat dan dunia kerja terhadap kampus, dunia kerja masih merasakan bahwa kampus (mahasiswa) jauh dari masyarakatnya, khususnya dunia kerja yang akan dimasuki kelak setelah mereka menyelesaikan studinya. Masyarakat belum bisa merasakan manfaat langsung kehadiran Perguruan Tinggi. Masyarakat juga memandang komunitas universitas bukan sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Industri pun merasakan belum mendapatkan manfaat dari universitas. Industri dan universitas merupakan lembaga atau unit yang masing-masing berdiri sendiri. Pandangan inilah yang masih memperkuat adagium ‘Perguruan Tinggi sebagai Menara Gading’.

Lalu, bagaimana sebaiknya? Ya, kita berharap ada kedekatan Perguruan Tinggi kita dengan masyarakat yang lebih dari sekadar yang saat ini telah terjadi.

Mendekatkan Masyarakat dengan Perguruan Tinggi

Ada pelajaran yang menarik dari program hibah yang diluncurkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Hibah MK ini berupa Smart Board Mini Court Room. Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri-Kediri termasuk salah satu Perguruan Tinggi yang menerima hibah ini. Smart Board Mini Court Room diperuntukkan sebagai peradilan jarak jauh untuk penyelesaian sengketa pemilu (atau lainnya yang masuk ranah hukum MK) di wilayah Kediri dan sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat yang memiliki persoalan dengan proses atau hasil pemilu di wilayah Kediri dan sekitarnya, misalnya, dapat mengadukannya ke Uniska; mereka tidak harus datang ke Jakarta. Di Uniska sendiri dibentuk pengurus/kepanitiaan yang dikoordinasi oleh MK. Ke depan Smart Board Mini Court Room difungsikan untuk melaksanakan persidangan jarak jauh antara Mahkamah Konstitusi RI dan para pihak yang sedang berperkara di MK.

Ketersediaan fasilitas tersebut dapat difungsikan sebagai media perkuliahan secara nyata bagi mahasiswa. Para mahasiwa bisa berkomunikasi langsung (melalui virtual) dengan para hakim konstitusi. Mahasiswa juga dapat mengikuti persidangan pada saat pembacaan putusan. Ini merupakan implementasi kerja sama antara Lembaga/institusi dengan Perguruan Tinggi. Alangkah indahnya bila seluruh persoalan masyarakat dapat diberi solusi oleh Perguruan Tinggi secara langsung. Bisa dibayangkan bagaimana menariknya apabila ada persoalan pupuk, persoalan harga gabah, persoalan kesehatan, dan lain-lain persoalan yang dihadapi masyarakat, dapat diadukan ke kampus dan kampus dapat memberikan solusi pemecahan. Tentu saja obsesi ini akan memerlukan kemauan dari semua pihak yang terlibat; juga kesiapan Perguruan Tinggi. Ide yang menarik dari model hibah MK di atas semoga bisa menginspirasi Kementerian/Lembaga dengan Kanwilnya di seluruh tanah air untuk melakukan kerja sama dengan Perguruan Tinggi.

Mendekatkan Perguruan Tinggi dengan Masyarakat

Sinergi Perguruan Tinggi dengan lembaga pemerintah, pelaku bisnis, dan lembaga swadaya masyarakat perlu terus dibangun dan ditingkatkan. Sinergi dimaksud dapat dilakukan melalui kegiatan saling bertukar keahlian, saling bertukar pengalaman; dan bahkan berupa pembiayaan program. Praktisi masuk ke Kampus dan Kampus (dalam hal ini mahasiswa dan dosen) juga masuk ke industri merupakan wujud implementasi ide ini. Jika ini bisa dilakukan secara masif, masyarakat luas pun akan mengakui bahwa kampus memang berguna secara langsung bagi mereka sebab pengalaman dan ilmu akan terintegrasi serta terjadi internalisasi nilai-nilai sinergitas tersebut.

Mahasiswa yang kelak akan mengisi lapangan kerja secara terbuka perlu sejak dini didekatkan dengan masyarakat (dalam hal ini dunia kerja). Bagaimana itu dapat dilakukan? Untuk uraian ini, penulis akan memberikan contoh khusus untuk penyiapan calon guru. Beberapa tahun lalu penulis sempat mengikuti short course di Michigan State University (MSU) dalam rangka benchmarking ke perguruan tinggi pendidikan nomor wahid di Amerika Serikat. Kegiatan yang dirancang dan diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tanaga Kependidikan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh praktik baik dalam tata kelola guru, mulai dari penyiapan calon guru, peningkatan kompetensi guru, karier, kesejahteraan, dan perlindungannya serta membangun jejaring internasional untuk pengembangan dan penguatan SDM pendidikan guru sebagai bagian dari revitalisasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan menitikberatkan pada penyiapan guru, sebenarnya tidak saja kegiatan itu menjadi kewenangan dan tanggung jawab Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), tetapi kegiatannya terintegrasi dengan Program S1 Kependidikan di LPTK. Dalam dimensi yang lebih luas untuk penyiapan tenaga guru merupakan kegiatan yang kontinum dimulai dari Program S1 Kependidikan yang dilanjutkan dengan Program PPG.

Baca Juga :  Ini Sosok Ketua PD Muhammadiyah Kota Kediri Achmad Khoirudin

Upaya mendekatkan sedini mungkin mahasiswa calon guru dengan dunia kerja yang akan dijalani setelah mereka berkarier di kemudian hari adalah dengan cara agar semua mata kuliah di Program Studi Kependidikan mewajibkan mahasiswa untuk berkegiatan di sekolah. Kehadiran mahasiswa ini dapat berbentuk kegiatan mengobservasi, melakukan wawancara, melakukan mini research untuk suatu proyek sederhana, dan lain sebagainya yang relevan. Semuanya dapat dilakukan sejak semester I. Jadi, mahasiswa Prodi Kependidikan sejak semester awal perkuliahan sudah dikenalkan dengan dunia persekolahan yang kelak menjadi tempat bekerja mereka. Dengan mendekatkan mahasiswa calon guru pada dunia kerja mereka, diharapkan ada ikatan batin yang kuat antara mahasiswa dengan dunia kerjanya. Ini yang kelak akan mengimbas pada kecintaan mereka pada profesinya, yakni dunia persekolahan. Dengan bekal mencintai profesinya, terimbas proses pendidikan yang bermutu. Selama ini mahasiswa Prodi Kependidikan hanya dikenalkan dengan sekolah apabila mereka melakukan Program PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan) yang waktunya tidak lebih dari 8 minggu.

Sebagai contoh penerapannya, ambil saja mata kuliah Pancasila sebagai mata kuliah wajib nasional, yang mungkin dianggap terlalu jauh dari sisi semesternya karena diprogramkan oleh mahasiswa di semester awal. Dalam 16 kali pertemuan (termasuk UAS), dosen mata kuliah Pancasila harus merancang 2 sampai 3 pertemuan bagi mahasiswanya untuk berkegiatan ke sekolah mitra yang disepakati. Dosen dapat menugasi mahasiswa untuk mengobservasi perilaku siswa yang menunjukkan pengamalan nilai-nilai Pancasila maupun perilaku yang barangkali menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Tentu saja, mahasiswa harus telah dibekali instrumen observasi yang sederhana. Mahasiswa bisa pula diminta untuk melalukan wawancara guna mengetahui latar belakang mengapa siswa yang menunjukkan perilaku tertentu. Dari hasil observasi ini mahasiswa diminta untuk membuat laporan singkat yang berisi hasil pengamatan, persoalan atau kendala yang muncul ketika di lapangan, solusi yang telah dilakukan, serta rekomendasi/saran yang dikemukakan. Kegiatan ini bukan hanya diarahkan untuk mencermati kebenaran observasi dan substansi yang diamati, melainkan juga untuk melatih mengembangkan literasi, berpikir kritis, dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Aspek afektif yang dapat dikembangkan adalah menumbuhkan rasa empati mahasiswa pada siswa, guru, dan sekolah; menanamkan rasa kesetiakawanan dan semangat kolabotarif karena kegiatannya dilakukan bersama kawan sekelas; dan aspek afektif lainnya. Jika beberapa mata kuliah didesain seperti itu, dalam satu semester mahasiswa bisa mengunjungi sekolah tidak kurang dari separuh semester, tentu dampak afektif yang kita harapkan dari mahasiswa dapat terwujud. Kegiatan mata kuliah lain dapat diselenggarakan sesuai dengan karakteristik mata kuliah. Namun, semua mata kuliah itu harus dikelola dengan baik agar kegiatannya utuh dengan berpegang pada prinsip terpadu, berkesinambungan, dan bergradasi.

Ilustrasi di atas secara analogis akan dapat diterapkan pula pada Prodi nonkependidikan. Masalahnya adalah maukah atau siapkah kita mendekatkan diri dengan masyarakat dan sebaliknya adakah ide-ide masyarakat (kalangan kementerian/Lembaga/industri) yang seperti dilakukan oleh MK. Semoga ini dpat diwujudkan. (Penulis adalah Rektor Universitas Islam Kadiri)

 

 

 

Secara resmi telah 115 tahun yang lalu bangsa ini menggelorakan semangat nasionalisme di tengah-tengah masa penjajahan Belanda. Sebuah keberaniaan anak-anak muda untuk bangkit menentang kolonialisme dan melawan rasa kesukuan yang masih kuat saat itu. Semangat kebangsaan inilah yang mengawal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan terberat saat Boedi Oetomo berdiri adalah bagaimana bangsa ini bisa terlepas dari kolonialisme dengan pendekatan diplomatik. Saat ini di era yang berbeda, saat kita sudah merdeka, dan di era globalisasi tantangan bangsa ini ternyata tidak jauh berbeda dengan masa itu. Jika di masa Boedi Oetomo persoalannya adalah sukuisme yang masih kuat, justru saat ini pemicunya adalah globalisasi. Di masa sebelum kemerdekaan diperlukan semangat nasionalisme dan sekarang pun yang kita perlukan adalah nasionalisme.

Globaliasi mau tidak mau akan mengancam nasionalisme. Nilai-nilai budaya Indonesia yang luhur akan terancam oleh nilai-nilai universal. Terhadap hal ini apa yang harus kita perbuat sebagai warga bangsa Indonesia? Anak-anak muda kita jangan sampai dininabobokkan oleh kenikmatan globalisasi. Karena itu, sangatlah relevan bila kita diingatkan oleh imbauan agar generasi ini bersemangat untuk bangkit, yang merupakan tema Hari kebangkitan Nasional tahun ini. Tentu, untuk itu, kita harus berkiprah di bidang masing-masing untuk mengisi negara kemerdekaan ini dengan semangat nasionalisme yang tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Nilai-nilai universal yang sesuai dengan nilai budaya kita dapat kita ambil sebagai pelengkap. Selanjutnya, bagaimana kiprah dan peran Perguruan Tinggi? Apa yang harus diperbuat oleh Perguruan Tinggi?

Kementerian Pendidikan, Kebudaan, Riset, dan Teknologi telah menabuh genderang agar Perguruan Tinggi di Indonesia mampu berbicara di ajang internasional. Karena itu, program-program internasionalisasi terus dirangsang untuk dilaksanakan dengan berbagai insentif, mulai dari akreditasi internasional untuk program studi, kelas internasional, pengiriman mahasiswa dan dosen ke kelompok Perguruan Tinggi ranking 100 dunia di luar negeri, International Credit Transfer, riset kolaboratif dosen Indonesia dengan dosen Perguruan Tinggi luar negeri, pengabdian kepada masyarakat internasional, konferensi internasional, joint publication, program double/joint degree, kerja sama dengan Perguruan Tinggi/institusi/industri luar negeri, publikasi pada jurnal internasional bereputasi sebagai syarat utama untuk calon guru besar, serta program-program inovatif yang dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi. Semangat ingin menyejajarkan bangsa ini dengan bangsa lain yang telah maju tentu sebuah upaya yang mulia. Namun, adakah ekses-ekses lain yang akan hilang akibat upaya tersebut? Apalagi, bila kita mengingat perguruan tinggi di Indonesia sangatlah banyak dengan tingkat diversifikasi yang luar biasa beragamnya.

Jika banyak kalangan ingin meruntuhkan julukan ‘Perguruan Tinggi sebagai Menara Gading’, termasuk warga kampus, faktanya kita masih melihat saat ini bahwa Perguruan Tinggi masih sebagai Menara Gading. Perguruan Tinggi masih menampakkan aktivitas yang terpisahkan jauh dari realitas sosial di sekitarnya. Apalagi, kita berharap bahwa kampus akan dapat memberikan kontribusi kreatif pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Sosiolog Imam Prasodjo (2021) juga pernah menyampaikan kekhawatiran terhadap hal ini karena dirinya sudah banyak mendengar kritik dari luar kampus bahwa program-program kampus banyak yang monoton dan kurang memberikan inspirasi. Semangat solutif yang sebenarnya selalu tumbuh di kalangan mahasiswa dan sivitas akademika yang lain tak tersalurkan dengan baik ke dalam program-program sosial inovatif.

Kata kunci yang penting dari pernyataan tersebut adalah bagaimana kampus dapat memberikan kontribusi kreatif pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Untuk itu, perlunya Perguruan Tinggi mendekatkan diri dengan masyarakat. Sebelum kita diskusikan masalah ini, ada baiknya Perguruan Tinggi melakukan evaluasi diri apa saja yang sudah dilakukan kampus kepada masyarakatnya. Jika kita menggunakan tridarma perguruan tinggi sebagai acuan kegiatannya, untuk darma pertama, yaitu pendidikan, kita akan melihat bahwa darma pendidikan umumnya masih dilakukan di kampus. Sekarang ini saja baru terasa mahasiswa lebih lama ‘belajar di masyarakat’ sejak ada kebijakan Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim tentang Merdeka Belajar yang memberikan kesempatan kepada mahasiwa untuk belajar di luar kampus selama dua semester, yang sebelumnya tidak ada regulasi yang mengatur lamanya mahasiswa kita belajar di luar kampusnya. Dengan demikian, kita melihat bahwa seakan-akan masyarakatlah yang memerlukan Perguruan Tinggi, masyarakat (mahasiswa) yang harus masuk dalam komunitas kampus. Dengan kata lain, masyarakatlah yang membutuhkan kampus. Pada darma kedua, yakni penelitian. Darma ini justru menampakkan keakuan Perguruan Tinggi karena hampir semua aktivitasnya dilakukan di kampus. Masyarakat hanyalah sebagai objek penelitian. Pada darma ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat; di sini baru kita rasakan kampus hadir di tengah-tengah masyarakat. Namun, sebagian desain kegiatan ini sepenuhnya didasarkan kepada kemauan kampus, belum pada apa yang diperlukan masyarakat. Dari sudut pandang pengamalan tridarma, tampaknya dominasi konteksnya adalah kampus masih belum dekat dengan masyarakatnya.

Baca Juga :  Ratusan Peserta Ikuti Ujian Luring dan Daring

Di samping itu, dari pandangan masyarakat dan dunia kerja terhadap kampus, dunia kerja masih merasakan bahwa kampus (mahasiswa) jauh dari masyarakatnya, khususnya dunia kerja yang akan dimasuki kelak setelah mereka menyelesaikan studinya. Masyarakat belum bisa merasakan manfaat langsung kehadiran Perguruan Tinggi. Masyarakat juga memandang komunitas universitas bukan sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Industri pun merasakan belum mendapatkan manfaat dari universitas. Industri dan universitas merupakan lembaga atau unit yang masing-masing berdiri sendiri. Pandangan inilah yang masih memperkuat adagium ‘Perguruan Tinggi sebagai Menara Gading’.

Lalu, bagaimana sebaiknya? Ya, kita berharap ada kedekatan Perguruan Tinggi kita dengan masyarakat yang lebih dari sekadar yang saat ini telah terjadi.

Mendekatkan Masyarakat dengan Perguruan Tinggi

Ada pelajaran yang menarik dari program hibah yang diluncurkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Hibah MK ini berupa Smart Board Mini Court Room. Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri-Kediri termasuk salah satu Perguruan Tinggi yang menerima hibah ini. Smart Board Mini Court Room diperuntukkan sebagai peradilan jarak jauh untuk penyelesaian sengketa pemilu (atau lainnya yang masuk ranah hukum MK) di wilayah Kediri dan sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat yang memiliki persoalan dengan proses atau hasil pemilu di wilayah Kediri dan sekitarnya, misalnya, dapat mengadukannya ke Uniska; mereka tidak harus datang ke Jakarta. Di Uniska sendiri dibentuk pengurus/kepanitiaan yang dikoordinasi oleh MK. Ke depan Smart Board Mini Court Room difungsikan untuk melaksanakan persidangan jarak jauh antara Mahkamah Konstitusi RI dan para pihak yang sedang berperkara di MK.

Ketersediaan fasilitas tersebut dapat difungsikan sebagai media perkuliahan secara nyata bagi mahasiswa. Para mahasiwa bisa berkomunikasi langsung (melalui virtual) dengan para hakim konstitusi. Mahasiswa juga dapat mengikuti persidangan pada saat pembacaan putusan. Ini merupakan implementasi kerja sama antara Lembaga/institusi dengan Perguruan Tinggi. Alangkah indahnya bila seluruh persoalan masyarakat dapat diberi solusi oleh Perguruan Tinggi secara langsung. Bisa dibayangkan bagaimana menariknya apabila ada persoalan pupuk, persoalan harga gabah, persoalan kesehatan, dan lain-lain persoalan yang dihadapi masyarakat, dapat diadukan ke kampus dan kampus dapat memberikan solusi pemecahan. Tentu saja obsesi ini akan memerlukan kemauan dari semua pihak yang terlibat; juga kesiapan Perguruan Tinggi. Ide yang menarik dari model hibah MK di atas semoga bisa menginspirasi Kementerian/Lembaga dengan Kanwilnya di seluruh tanah air untuk melakukan kerja sama dengan Perguruan Tinggi.

Mendekatkan Perguruan Tinggi dengan Masyarakat

Sinergi Perguruan Tinggi dengan lembaga pemerintah, pelaku bisnis, dan lembaga swadaya masyarakat perlu terus dibangun dan ditingkatkan. Sinergi dimaksud dapat dilakukan melalui kegiatan saling bertukar keahlian, saling bertukar pengalaman; dan bahkan berupa pembiayaan program. Praktisi masuk ke Kampus dan Kampus (dalam hal ini mahasiswa dan dosen) juga masuk ke industri merupakan wujud implementasi ide ini. Jika ini bisa dilakukan secara masif, masyarakat luas pun akan mengakui bahwa kampus memang berguna secara langsung bagi mereka sebab pengalaman dan ilmu akan terintegrasi serta terjadi internalisasi nilai-nilai sinergitas tersebut.

Mahasiswa yang kelak akan mengisi lapangan kerja secara terbuka perlu sejak dini didekatkan dengan masyarakat (dalam hal ini dunia kerja). Bagaimana itu dapat dilakukan? Untuk uraian ini, penulis akan memberikan contoh khusus untuk penyiapan calon guru. Beberapa tahun lalu penulis sempat mengikuti short course di Michigan State University (MSU) dalam rangka benchmarking ke perguruan tinggi pendidikan nomor wahid di Amerika Serikat. Kegiatan yang dirancang dan diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tanaga Kependidikan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh praktik baik dalam tata kelola guru, mulai dari penyiapan calon guru, peningkatan kompetensi guru, karier, kesejahteraan, dan perlindungannya serta membangun jejaring internasional untuk pengembangan dan penguatan SDM pendidikan guru sebagai bagian dari revitalisasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan menitikberatkan pada penyiapan guru, sebenarnya tidak saja kegiatan itu menjadi kewenangan dan tanggung jawab Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), tetapi kegiatannya terintegrasi dengan Program S1 Kependidikan di LPTK. Dalam dimensi yang lebih luas untuk penyiapan tenaga guru merupakan kegiatan yang kontinum dimulai dari Program S1 Kependidikan yang dilanjutkan dengan Program PPG.

Baca Juga :  Satpol PP Jaring Delapan Pelajar Bolos

Upaya mendekatkan sedini mungkin mahasiswa calon guru dengan dunia kerja yang akan dijalani setelah mereka berkarier di kemudian hari adalah dengan cara agar semua mata kuliah di Program Studi Kependidikan mewajibkan mahasiswa untuk berkegiatan di sekolah. Kehadiran mahasiswa ini dapat berbentuk kegiatan mengobservasi, melakukan wawancara, melakukan mini research untuk suatu proyek sederhana, dan lain sebagainya yang relevan. Semuanya dapat dilakukan sejak semester I. Jadi, mahasiswa Prodi Kependidikan sejak semester awal perkuliahan sudah dikenalkan dengan dunia persekolahan yang kelak menjadi tempat bekerja mereka. Dengan mendekatkan mahasiswa calon guru pada dunia kerja mereka, diharapkan ada ikatan batin yang kuat antara mahasiswa dengan dunia kerjanya. Ini yang kelak akan mengimbas pada kecintaan mereka pada profesinya, yakni dunia persekolahan. Dengan bekal mencintai profesinya, terimbas proses pendidikan yang bermutu. Selama ini mahasiswa Prodi Kependidikan hanya dikenalkan dengan sekolah apabila mereka melakukan Program PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan) yang waktunya tidak lebih dari 8 minggu.

Sebagai contoh penerapannya, ambil saja mata kuliah Pancasila sebagai mata kuliah wajib nasional, yang mungkin dianggap terlalu jauh dari sisi semesternya karena diprogramkan oleh mahasiswa di semester awal. Dalam 16 kali pertemuan (termasuk UAS), dosen mata kuliah Pancasila harus merancang 2 sampai 3 pertemuan bagi mahasiswanya untuk berkegiatan ke sekolah mitra yang disepakati. Dosen dapat menugasi mahasiswa untuk mengobservasi perilaku siswa yang menunjukkan pengamalan nilai-nilai Pancasila maupun perilaku yang barangkali menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Tentu saja, mahasiswa harus telah dibekali instrumen observasi yang sederhana. Mahasiswa bisa pula diminta untuk melalukan wawancara guna mengetahui latar belakang mengapa siswa yang menunjukkan perilaku tertentu. Dari hasil observasi ini mahasiswa diminta untuk membuat laporan singkat yang berisi hasil pengamatan, persoalan atau kendala yang muncul ketika di lapangan, solusi yang telah dilakukan, serta rekomendasi/saran yang dikemukakan. Kegiatan ini bukan hanya diarahkan untuk mencermati kebenaran observasi dan substansi yang diamati, melainkan juga untuk melatih mengembangkan literasi, berpikir kritis, dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Aspek afektif yang dapat dikembangkan adalah menumbuhkan rasa empati mahasiswa pada siswa, guru, dan sekolah; menanamkan rasa kesetiakawanan dan semangat kolabotarif karena kegiatannya dilakukan bersama kawan sekelas; dan aspek afektif lainnya. Jika beberapa mata kuliah didesain seperti itu, dalam satu semester mahasiswa bisa mengunjungi sekolah tidak kurang dari separuh semester, tentu dampak afektif yang kita harapkan dari mahasiswa dapat terwujud. Kegiatan mata kuliah lain dapat diselenggarakan sesuai dengan karakteristik mata kuliah. Namun, semua mata kuliah itu harus dikelola dengan baik agar kegiatannya utuh dengan berpegang pada prinsip terpadu, berkesinambungan, dan bergradasi.

Ilustrasi di atas secara analogis akan dapat diterapkan pula pada Prodi nonkependidikan. Masalahnya adalah maukah atau siapkah kita mendekatkan diri dengan masyarakat dan sebaliknya adakah ide-ide masyarakat (kalangan kementerian/Lembaga/industri) yang seperti dilakukan oleh MK. Semoga ini dpat diwujudkan. (Penulis adalah Rektor Universitas Islam Kadiri)

 

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/