“Marah, sakit hati, dendam, dan hasrat balas dendam yang mengobari dada para manggalayudha dan prajurit Wilwatikta membuat semua letih tersingkir jauh”
Di bawah tebaran gerimis yang jekut, selaksa bala prajurit Wilwatikta yang dipimpin Rakryan Rangga Wilwatikta Pu Jalu dibantu oleh Wreddha Menteri Arya Patipati Pu Kapat berangkat dari Kutaraja pada hari ketujuh di bulan kedelapan.
Meski sudah berusia lanjut, Wreddha Menteri Arya Patipati Pu Kapat masih menunjukkan kegagah-perkasaan dan kewibawaan singa yang menyurutkan nyali penghuni hutan.
Bala prajurit berkuda dan pejalan kaki yang bergerak mengikuti langkah gajah perang tunggangannya yang mengikuti gajah tunggangan Rakryabn Rangga Wilwatikta Pu Jalu, melesat cepat dalam iring-iringan panjang yang meliuk-liuk laksana seekor naga raksasa sedang merayap cepat di padang belantara.
Cuaca di tengah musim penghujan sangat dingin. Tapi bala prajurit Wilwatikta dengan semangat menyala-nyala menerobos tebaran hujan yang dinginnya menusuk hingga ke tulang. Cerita gugurnya Juru Mulasagara Pu Genthak dan Mula Marggabhaya Rakryan Panji Samara beserta seluruh pasukan dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan gerombolan perusuh yang dipimpin Ra Semi menumbuhkan perasaan getir bagi semua manggalayudha dan prajurit Wilwatikta.
Marah, sakit hati, dendam, dan hasrat balas dendam yang mengobari dada para manggalayudha dan prajurit Wilwatikta membuat semua letih, lelah dan rasa kantuk tersingkir jauh. Sambil sesekali menggeram dan berteriak iring-iringan bala prajurit Wilwatikta itu bergerak tanpa henti sepanjang siang hingga sore tanpa perduli curahan hujan membasahi mereka.
Pada hari kedua, iring-iringan bala prajurit Wilwatikta yang dipimpin Rakryan Rangga Wilwatikta Pu Jalu dan Wreddha Menteri Arya Patipati Pu Kapat tiba di Tuban dan bertemu dengan bala prajurit berkuda yang dipimpin Senamukha Bala Makapal Pu Sona Pethak, pemimpin pasukan Bala Makapal Wilwatikta (Pasukan Berkuda Wilwatikta).
Sementara di perairan Tuban, dalam keremangan kabut dan tumpahan hujan, samar-samar tampak bayangan dua perahu besar Pepentolan yang masing-masing padat dimuati prajurit.
Di bayangan perahu Pepentolan yang terdepan, samar-samar terlihat gagah bayangan Pu Aditya, sepupu maharaja yang masyhur kesaktian dan kedigdayaannya, yang duduk di anjungan dengan tangan bersedekap dan mata memandang lurus ke depan seolah menembus keremangan kabut yang meliputi permukaan air.(bersambung)