Tidak ada kopi yang rasanya tidak enak. Termasuk semua varian kopi lokal Kediri. Semua memiliki cita rasa khasnya sendiri.
RAMONA TIARA VALENTIN
“Coba rasakan, pasti ada bedanya antara kopi satu dengan lainnya,” ucap Arief Priyono, coffee enthusiasm, yang juga salah satu owner SK Coffee Lab Kediri.
Saat itu, Arief tengah mencicipi sample kopi dari berbagai wilayah produsen kopi di Kediri. Seperti arabika, robusta, hingga ekselsa dari perkebunan Medowo dan Puncu, Kabupaten Kediri.
Saat mencoba varian kopi lokal yang dijadikan sampel itulah Arief mengatakan bila tidak ada kopi yang tidak enak. Untuk cita rasa kopi ekselsa Medowo misalnya, Arif merasakan lebih tepat bila dijadikan sebagai blend atau campuran.
“Dari aromanya, ekselsa its okey,” pujinya.
Lelaki yang pernah menulis tentang kopi lokal Kediri dalam bukunya ini mengungkap bila terdapat perbedaan pada kopi bubuk dengan bijian. “Lebih nikmat bila kopi masih dalam kondisi bijian, fresh. Berbeda dengan kopi yang sudah bubukan,” urainya.
Dalam menyeruput kopi pun Arief mengaku tidak asal minum. Terlihat bila ia siapkan sendok serta segelas air bening untuk menetralkan sendok yang digunakan dalam mengincipi kopi. Sruuup, dalam sekejap ia perlihatkan cara mencicipi kopi dengan sendok khusus. “Ini yang saya coba ada tiga kopi, dan sendok harus steril,” terangnya.
Di tengah perbincangan tentang kopi lokal, ia mengakui Kediri memiliki kopi dengan kualitas unggulan. Seperti kopi robusta Satak. Kopi ini sudah diekspor hingga ke Belanda dan Italia. “Kualitas kopi robusta Satak diakui,” pujinya sambari menyeruput salah satu sample kopi.
Ia mengakui bila karakter kopi lokal tergantung dari kondisi ekologi tempat ditanam. Ketika disinggung kopi mana yang paling enak, lelaki asal Pati, Jateng, ini mengerutkan dahi. “Enak tidak enak bukan karena kopinya. Tapi dari proses panen, pascapanen, penyimpanan, penyangraian, hingga penyeduhan,” tegasnya.
Baginya, kopi lokal memiliki ciri khas masing masing. Tidak bisa kenikmatan kopi Wilis dan Kopi Kelud saling dibandingkan.
“Semua juga tergantung proses dan takarannya dalam penyajian,” ujar laki-laki yang pernah belajar mengenai kopi di Puslit Kopi dan Kakao di Jember ini.
Arief mengakui bila citarasa kopi merupakan kultur, yang kurang tepat bila dinilai secara objektif. Tidak lupa ia juga paparkan bila tidak ada istilah basi pada kopi. Hanya pengaruh pada rasanya saat diseduh. Kopi diakuinya tidak basi. Hanya berubah cita rasanya bila diseduh. “Bila masih 1 bulan, citarasanya masih terjaga. Selanjutnya sudah mulai berubah,” terangnya.
Ia juga menjelasakan bila kopi setelah satu bulan dalam masa penyimpanan yang baik akan terjaga cita rasanya. Melebihi masa itu rasa kopi cenderung tinggal pahitnya saja. Padahal setiap kopi ada khasnya. “Dan sebenarnya, tingkat rasa pahit itu muncul karena proses sangrai. Kalau gosong ya semakin pahit,” tegasnya setelah menyeruput kopinya lagi.