KOTA, JP Radar Kediri-Pandemi Covid-19 yang belum usai membuat umat Hindu Kota Kediri kembali menggelar Melasti secara sederhana. Kemarin, puluhan umat mengikuti ritual di Pura Penataran Agung Kilisuci. Hujan deras yang mengguyur lokasi tak membuat puluhan orang beranjak dari tempat acara.
Melasti dimulai sekitar pukul 10.30. Hujan deras disertai angin mengguyur lokasi jelang ritual berakhir atau sekitar pukul 12.50. Tetapi, umat tetap mengikuti rangkaian acara hingga usai. “(Hujan, Red) ini anugerah dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa, Red),” ujar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Kediri Ni Made Susilawati.
Perempuan yang akrab disapa Made itu menjelaskan, hujan kemarin siang jadi tanda alam. Menunjukkan ketulusan umat Hindu mengikuti ritual pembersihan buana alit dan alam semesta itu.
Jika tiga tahun lalu mereka menggelar Melasti di tepi sungai Brantas, tahun ini mereka kembali menggelar ritual secara sederhana. Yakni, melakukan upacara di Pura Penataran Agung Kilisuci.
Meski acara relatif sederhana, menurut Made prosesi sudah memenuhi semua persyaratan. Apalagi, di beji pura (taman suci) sudah tersedia kolam yang disyaratkan dalam ritual.
Dalam Melasti Made mengajak umat mengaktualisasikan nilai
tat twam asi ke dalam moderasi beragama.Tekanannya pada moral. Yaitu, Mengajak umat memiliki jiwa sosial. Serta, mendorong umat untuk menolong orang lain. “Karena dengan menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri. Begitu pun sebaliknya, menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri,” papar Made.
Made menuturkan, makna ritual Melasti tidak hanya menyucikan diri pribadi dan alam. Melainkan juga mengambil sari pati kehidupan untuk dipercikkan ke umat. Di ritual kemarin, Made juga menambahkan doa keselamatan agar pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun ini segera selesai.
Untuk diketahui, usai menggelar Melasti kemarin, menurut perempuan asli Bali itu umat Hindu juga akan menggelar Tawur Kesanga sebelum Nyepi. Seperti halnya Melasti yang digelar sederhana, dalam Tawur Kesanga mereka juga tidak mengarak ogoh-ogoh keliling kota.
Hal tersebut dilakukan sesuai anjuran dari PHDI Provinsi dan pemerintah. “Nanti, kalau diarak bisa menimbulkan kerumunan. Kita masih pandemi,” urainya. Sebagai gantinya, pengarakan ogoh-ogoh di pura hanya akan dilakukan oleh para pandita. Mereka tetap melaksanakan sebatas simbol saja. (rq/ut)