NGANJUK, JP Radar Nganjuk- Sidang Bupati Novi Rahman Hidhayat dan enam anak buahnya di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membuat banyak orang tidak bisa tidur nyenyak. Karena orang yang terlibat dalam dugaan kasus suap promosi jabatan dan pengisian perangkat desa bisa saja terseret. “Pemberi suap dan penerima suap itu bisa kena tindak pidana korupsi,” tandas Kepala Kejaksaan Negeri Nganjuk Nophy Tennophero Suoth.
Karena itulah, Novi dan enam buahnya saat ini harus menghadapi meja hijau. Novi sebagai penerima suap. Sedangkan, ajudan M. Izza Muhtadin sebagai perantara yang memberikan uang suap dari empat camat dan satu mantan camat. Sementara empat camat dan satu mantan camat, yaitu Camat Pace Dupriono, Camat Tanjunganom Edie Srianto, Camat Berbek Harianto, Camat Loceret Bambang Subagio, serta mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo sebagai pemberi suap.
Jumlah tersebut sangat mungkin bertambah. Karena dalam dakwaan yang dibacakan tim jaksa penuntut umum (JPU), ternyata empat camat dan satu mantan camat itu bukanlah orang yang memberi suap. Namun, mereka adalah kolektor.
Sebagai contoh, Nophy menjelaskan untuk peran Camat Pace Dupriono. Dia ternyata menjadi pengumpul uang suap untuk pengisian perangkat desa di lima desa yang ada di Kecamatan Pace. Uang tersebut diserahkan ke kepala desa (kades). Kemudian, Dupriono mengambil uang di kades. “Oleh terdakwa Dupriono, dari lima desa itu Novi hanya disetori Rp 10 juta,” terangnya.
Ironisnya, Novi juga mau menerima uang Rp 10 juta dari lima desa. Padahal, angka tersebut sebenarnya jauh di bawah tarif yang dipatoknya. Karena awalnya, Novi mematok tarif Rp 10 juta untuk kepala seksi (kasi), Rp 20 juta untuk kepala urusan (kaur), dan Rp 30 juta untuk sekretaris desa (sekdes). “Ini per desa masing-masing diberi hanya Rp 2 juta. Juga diterima,” ujar kajari asal Manado.
Kades yang memberikan suap ke Dupriono ini bisa juga dijerat pidana korupsi. Karena berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberi suap ke pejabat negara diancam hukuman penjara minimal satu tahun penjara dengan denda Rp 50 juta dan maksimal lima tahun penjara dengan denda Rp 250 juta. “Untuk pemberi suap ini kita akan melihat fakta-fakta di persidangan nanti,” ujar Nophy.
Kondisi ini yang membuat para pemberi suap kepada Novi di kasus suap promosi jabatan dan pengisian perangkat desa sangat mungkin terseret. Karena jika Novi dkk menceritakan semuanya maka para pemberi suap bisa akan dijerat tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Novi dkk masih optimistis menganggap dakwaan tim JPU kabur dan tidak jelas. Karena itu, mereka akan melakukan eksepsi pada Senin (6/9). “Kami sampaikan alasan dakwaan kabur dan tidak jelas dari JPU secara rinci di eksepsi nanti,” ujar Tis’at Afriyandi, penasihat hukum Novi.