Ketakutan menyeruak di hati mereka. Terutama di masa setelah mereka meninggal. Ketakutan ini melahirkan perkumpulan yang mendekatkan mereka dengan nilai-nilai agama.
DEWI AYU NINGTYAS, NGASEM, JP Radar Kediri
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kediri terasa berbeda Kamis malam (24/6). Beberapa ‘wanita’ memasuki halaman kantor di Ngasem itu. Ada yang bersepeda motor. Ada pula yang mengendarai Honda Jazz.
Wanita? Tak sepenuhnya benar. Meskipun mereka semua berjilbab atau bergamis. Karena mereka adalah anggota dari Perwaka, akronim dari Persatuan Waria Eks-Karesidenan Kediri. Mereka berdatangan ke kantor kemenag itu untuk mengikuti pengajian yang berlangsung rutin sebulan sekali. Setiap malam Jumat Pahing. Kegiatan kajian keagamaan yang sudah mereka rintis sejak 1990.
Namun, jangan harap pakain seksi yang menempel pada tubuh para waria itu. Meskipun, pakaian islami masih mereka hiasi dengan sepatu high hills serta riasan tebal dan aroma parfum yang kuat.
Bahkan, gaya genit mereka masih terlihat. Seperti ketika hujan turun, mereka berlarian menuju teras gedung yang berada di bagian belakang kantor kemenag. Sebelum masuk ke gedung tempat pengajian mereka masih menyempatkan diri melihat cermin kecil. Mengembalikan riasan yang sempat luntur terkena air hujan.
“(Pengajian ini) awalnya dari keprihatinan setelah para waria ini meninggal. (Mereka) tidak memiliki keluarga. Kami juga tidak menikah, tidak memiliki keturunan. Setelah meninggal siapa yang mendoakan?” cetus Mami Soriezs Monica, salah seorang pengurus Perwaka, menceritakan awal terbentuknya kelompok pengajian.
Berangkat dari hal itulah pengajian kecil setiap malam Jumat Pahing itu berdiri. Tujuannya memang untuk mengirim doa dan tahlil bagi rekan waria yang telah meninggal.
“Namanya pengajian Nurul Iman,” terang pemilik salon kelahiran Juli 1983 itu. Pemberian nama tersebut merupakan kesepakatan bersama dari sepuluhan anggota awal yang bergabung.
Semula hanya sekitar 8 sampai 10 saja yang bergabung. Kini sudah sekitar 100 orang waria yang bergabung. Selaras dengan peningkatan keanggotaan Perwaka setiap tahun.
Soal tempat, mereka berpindah-pindah. Bergilir dari satu rumah anggota ke rumah lainnya. Khusus saat itu, mereka memang sengaja mengajukan permintaan agar boleh melakukan pengajian di kantor kemenag.
Saat pengajian, seluruh anggota juga berperan aktif. Mulai dari menyiapkan makanan ringan untuk suguhan hingga menyusun konsep acara. Bahkan menyiapkan buku tahlilan serta bernyanyi kasidah.
Menurut Soriez, para waria itu memiliki keinginan berubah. Mereka melihat dan meneladani contoh senior. “Jadi mereka melihat semangat mereka,” ujarnya.
Agar nyaman, para waria dibebaskan dalam berbusana. Tidak dituntut harus berjilbab, berbaju koko, bersarung, atau berkopiah. Terserah mereka ingin mengekspresikan diri. “Kalau mau pakau gamis dan ber-make up juga silakan,” imbuhnya.
Tak hanya itu, rasa solidaritas antar-waria yang tinggi pun memberikan pengaruh besar bagi mereka untuk berubah. “Nulari mereka untuk ikut menjadi baik juga mudah. Karena kita sendiri menjadi bagian dari mereka,” tuturnya.
Pemilik wedding organizer dan salon kecantikan ini mengatakan, pengajian tiap malam Jumat Pahing bisa mengubah mindset masyarakat. Sekaligus pembuktian bahwa waria mampu beribadah dan memeluk agama Islam. Termasuk melakukan hal-hal positif untuk masyarakat dan komunitasnya.
“Pandangan di luar banyak sekali asumsi negatif tentang kami. Sering disalahartikan dengan kehadiran waria urakan, prostitusi, dan kaum marjinal,” ungkap warga Mojoroto itu.
Pandangan tersebut, bagi Soriez harus disisihkan. Yang terpenting adalah hidup harus bermanfaat bagi orang lain. Terlebih kesempatan hidup yang tidak lama untuk mengabdikan diri kepada masyarakat dan komunitas.
“Sehingga mendapatkan keberkahan, keridhaan Allah. Hidup tidak sia-sia walaupun di mata masyarakat umum kami dikucilkan,” pungkasnya. (fud)