Seni Tiban memang ada di beberapa daerah. Namun, yang ada di Kabupaten Kediri sangat khas. Dan, kekhasan itu yang dipatenkan menjadi salah satu kekayaan intelektual komunal dari kabupaten di lereng Gunung Kelud.
AYU ISMA, Kabupaten, JP Radar Kediri
Gending Jawa mengalun dari teras rumah tua yang berhalaman luas. Ditingkahi lantunan tembang yang keluar dari perempuan paruh baya. Lagu itu berkisah tentang meletusnya Gunung Kelud, gunung aktif yang mengakar di Bumi Panjalu, sebutan lain dari Kabupaten Kediri.
Di halaman, dua orang bertelanjang dada memegang pecut, yang terbikin dari anyaman janur. Tubuh mereka meliuk mengikuti nada-nada pentatonik gamelan. Sejurus kemudian keduanya tersentak. Yang seorang mengayunkan pecut ke yang lain.
Orang-orang yang menonton di pinggir pun berteriak girang. Sembari menghitung dengan lantang. “Siji…loro….,” hitung mereka hingga angka lima, dalam bahasa Jawa.
Hitungan penonton itu mengikuti jumlah pecutan yang dilakukan salah satu pemain tiban yang tengah berlaga itu. Ya, seorang pemain mendapat kesempatan mengayunkan cemeti sekeras-kerasnya ke tubuh lawan sebanyak lima kali. Demikian berlangsung secara bergantian.
Siapa saja boleh masuk ke arena tiban. Peraturannya, diawali dengan salam damai. Kedua pemain juga harus mematuhi aturan. Hanya menyerang area bawah leher sampai atas panggul. Setelah laga usai, ditutup dengan bersalaman.
Aksi yang berlaga sangat intens. Tapi tak ada yang sampai naik pitam dalam atraksi seni tiban yang berlangsung di Desa Banjaranyar, Kecamatan Kras (15/2) itu. Semua babak selalu diakhiri dengan saling bersalaman.
Bagi yang menyaksikan, seni tradisional ini mungkin hanya sebatas hiburan. Menonton keseruan dua orang yang ‘berduel’ dengan cemeti. Namun, banyak makna filosofis dari kesenian yang baru saja tercatat sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK) dari Kabupaten Kediri ini.
Tiban, memiliki makna sakral bagi masyarakat Jawa. Kesenian ini merupakan ritual yang dilakukan untuk meminta hujan. Di sisi lain juga mengajarkan nilai-nilai pengendalian diri bagi pemainnya.
“Maknanya menunjukkan bahwa masyarakat Jawa itu tidak hanya memiliki kedalaman emosi, tapi juga pengendalian emosi,” tutur Komite Tari dan Jaranan Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) Dekky Susanto.
Ditemui terpisah, Ketua Kelompok Seni Tiban Satrio Cemeti yang berbasis di Desa Banjaranyar, Mohammad Romadon, mengatakan bahwa tiban khas Kediri memiliki perbedaan signifikan dengan yang ada di luar Kediri. Di sini sang pemain tidak banyak memakai alat pelindung diri. Membuat esensi dari Tiban masih kental.
“Nggak ada pakai helm atau pelindung yang macam-macam. Cukup dihalangi seadanya dengan lengan. Karena kalau nggak sampai berbekas kok kurang marem (puas, Red),” tutur laki-laki yang akrab disapa Madon tersebut.
Setiap orang yang berpartisipasi hanya perlu bertelanjang dada. Panitia akan memberikan kain batik yang diikatkan di pinggang sebagai penanda menjadi pemain.
Pecut Tiban yang digunakan pun khas. Terbuat dari lidi aren yang dianyam sedemikian rupa hingga berdiameter sekitar 3 sentimeter. Panjangnya sekitar 108 sentimeter.
Madon mengakui, butuh waktu cukup lama untuk membuat pecut Tiban. Itu karena anyamannya yang rumit. “Biasanya untuk pertunjukkan kita buat lima. Butuh empat sampai lima jam baru jadi. Dan setiap kali ada pertunjukkan harus buat baru. Karena kalau tidak, pecutnya kering. Kurang marem,” jelas laki-laki bertato tersebut.
Meskipun mengakui adanya peningkatan peminat –khususnya di kalangan anak muda—tiban di Kediri, menurut Madon, belum bisa berkembang. Tiban masih terbatas sebagai pertunjukkan selingan jaranan Jawa.
“Jadi kalau jaranan Jawa Kras ini sepaket dengan tiban. Kami belum pernah tampil sendiri. Itupun terkadang dari yang menanggap itu minta nggak pakai tiban. Mungkin karena biaya dan sebagainya,” terangnya.
Selain itu, problem sumber daya manusia masih menjadi hambatan. Nyaris semua pegiat tiban berusia 30-an, yang sudah punya pekerjaan tetap. Sehingga, sulit bagi mereka jika harus meluangkan banyak waktu untuk mengisi pertunjukkan di luar kota.
“Sejauh ini hanya bisa tampil di dalam kota. Sebatas di desa dan kecamatan sebelah. Kalau ke luar kota belum bisa. Sudah berumah tangga juga soalnya,” kata bapak anak satu itu.
Perjuangan mempertahankan tradisi Jawa ini mereka lakukan atas dasar solidaritas. Jika sepi permintaan, mereka dengan sukarela mengadakan pertunjukkan di desa. Tak jarang, uang patungan harus dikeluarkan oleh para anggota demi bisa tampil menghibur warga.
“Kadang anak-anak ini suka bilang eh, sepi ya. Yoh gae acara’ (ayo bikin acara, Red). Jadi ya urunan. Tapi untuk desa sendiri saja,” tuturnya seraya tertawa. (fud)
Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Kediri, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Kediri”. Caranya klik link join telegramradarkediri. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.