29.3 C
Kediri
Sunday, May 28, 2023

Ini Problematika Pengidap Skizofrenia di Tengah Masyarakat

Hari ini, 24 Mei, adalah Hari Skizofrenia Sedunia. Tujuannya, memunculkan kesadaran masyarakat bahwa pengidap penyakit ini bisa disembuhkan. Sayang, masih banyak yang memilih sikap mengucilkan mereka.

Puluhan orang berkumpul di lapangan rumput milik Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Bina Laras (UPT RSBL) Dinsos Jatim. Tempatnya persis di tengah, dikelilingi bangunan kantor yang berada di Desa Butuh, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri itu.

Sebagian duduk berjajar di bangku kayu yang ada di tepi lapangan. Sisanya, lesehan di rumput hijau. Tak terusik oleh terik matahari yang bersinar terik di pukul 10.00 itu. Sebab, sinarnya tak langsung mengena ke orang-orang berseragam kaos abu-abu kombinasi lengan warna hijau tersebut. Lebih dulu terhalang pepohonan yang tumbuh di tepi lapangan.

Orang-orang itu adalah penderia skizofrenia. Penyakit gangguan kejiwaan, yang penderitanya tak bisa membedakan antara halusinasi dan realita. Di pagi hingga menjelang siang itu, mereka mengikuti kegiatan pemulihan. Bergantian mereka bernyanyi secara karaoke.

“Kegiatan ini untuk membangun kepercayaan diri penderita,” ucap Kepala UPT RSBL Kediri Singgih Tri Wimbanu melalui Pekerja Sosial (Peksos) Nurulloh Putra.

Satu per satu penderita skizofrenia maju. Diminta menyanyikan satu lagu. Salah satunya adalah TB. Wanita itu memilih bernyanyi yang sangat menggambarkan emosinya. Berjudul ‘Mama Aku Ingin Pulang’ dari artis Nike Ardilla.

Ya, TB-wanita berusia 30 tahun-memang merindukan suasana rumah. Meskipun dia sebenarnya lebihkerasan di panti rehabilitasi. Merasa lebih tenang. Banyak petugas yang peduli dengan dirinya. Yang bersedia meluangkan waktu untuk sekadar mendengarkan ceritanya kala sedih.

Berbeda ketika dia ada di luar panti. Yang justru membuatnya seperti orang asing. Keluarga dan tetangga tidak mau menerima kehadirannya.

“Tapi saya (tetap) mau pulang. Kasihan bapak di rumah, soalnya ibuk sudah pulang (meninggal, Red),” ucapnya lirih.

Problem seperti yang dirasakan TB terjadi di semua penderita skizofrenia. “Masih banyak para pengidap skizofrenia di sini yang malah dibully, dikucilkan, bahkan dibuang,” ujar Putra.

Di UPT RSBL Kediri itu, ada 150 pasien yang dirawat. Mayoritas pengidap skizofrenia. “Setidaknya sampai 50 pasien yang mengidap skizofrenia,” terangnya.

Baca Juga :  Target Rp 150 Miliar dari Pendapatan Pajak

Sebagian besar kondisinya parah. Sudah tidak bisa membedakan antara kenyataaan dan halusinasi. Kondisi yang menunjukkan penderita sudah lama mengidap skizofrenia.

Ada alasan mengapa banyak pasien yang datang dalam kondisi parah. Salah satunya adalah keluarga yang enggan mengobatkan. Banyak yang memilih membawa ke ‘orang pintar’.

Padahal, menurut Putra, para pasien skizofrenia dapat disembuhkan tanpa harus dibawa ke panti rehabilitasi. Caranya adalah dengan mendeteksi tanda-tanda awal.

Dokter Ronny SpKj, dokter kejiwaan, menyebut ada beberapa tanda awal yang harus diperhatikan oleh keluarga atau kerabat terdekat. Paling mudah terlihat adalah perubahan sikap dan emosi. Dari yang menjadi pendiam, mudah marah, hingga menarik diri dari lingkungan. Bila seperti itu, keluarga harus segera bertanya. “Karena para pengidap rata-rata tidak tahu kalau mereka sedang sakit,” ujarnya.

Jika orang tersebut mulai mengidap skizofrenia, maka anggota keluarga harus segera membawanya ke tenaga profesional. Semakin cepat mereka membawa ke tenaga profesional, semakin mudah untuk sembuh. “Jangan malu jika ada keluarga yang mengidap gangguan kejiwaan. Mereka harus tetap kita sayangi,” pungkasnya.

Kembali ke Putra, dia menyebut banyak pengidap skizofrenia yang akhirnya sembuh setelah dirawat di UPT RSBL Kediri. Walaupun tidak sembuh seratus persen, namun bisa kembali ke masyarakat. “Ada yang sudah kembali bekerja dan kelihatan hidup normal,” ujarnya.

Sayangnya, walau sempat dianggap sembuh, ada beberapa kasus pengidap skizofrenia kembali kumat. Penyebabnya, keluarga yang acuh. Karena terlihat sudah sembuh, mereka tidak memaksakan agar mantan pengidap skizofrenia minum obat secara rutin.

Di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Laras (RSBL) Kediri ada sebuah slogan yang dipasang di kantor bagian depan. Yaitu tulisan Sayangi Kami. Slogan tersebut bukan hanya menjadi pajangan. Namun juga harapan dari para pengidap skizofrenia. Karena nyatanya, ketika di luar, masih banyak para pengidap skizofrenia yang malah dibully dan tetap dikucilkan meski sudah sembuh.

“Dari asesmen diketahui banyak dari pengidap skizofrenia yang semakin parah karena dikucilkan,” ujar Kepala UPT Rehabilitasi Sosial Bina Laras (RSBL) Kediri Singgih Tri Wimbanu melalui Pekerja Sosial (Peksos) Nurulloh Putra.

Baca Juga :  Utamakan ‘Jeneng’ daripada ‘Jenang’

Pengucilan dan pem-bully-an yang dilakukan masyarakat tergolong parah. Mereka melakukannya mulai dari pengidap mengalami tanda-tanda awal, ketika mengidap parah, bahkan ketika pasien itu sembuh.

Ironisnya, sikap itu tak hanya oleh orang lain, anggota keluarga pasien pun melakukan hal serupa. Tak sekadar dikucilkan, banyak pula yang sampai memasung.

“Bahkan ada yang diusir,” tambah Putra.

Sikap seperti itu yang disayangkan Putra. Pengucilan hanya akan membuat penderita kian tertekan. Kondisi kejiwaannya pun kian parah. “Bahkan sering ada orang yang lewat depan panti cuman buat mengolok-olok para pasisen,” ungkapnya menggambarkan bagaimana keterlaluannya sikap pada penderita skizofrenia.

Lalu, bagaimana seharusnya sikap keluarga dan masyarakat? Putra menyebut jika keluarga harus menjadi obat pertama bagi penderita. Yaitu menjadi teman curhat atau menjadi pengawas ketika diperlukan.

Sedangkan bagi masyarakat sekitar, Putra menyebut jika mereka harus menganggap para pengidap skizofrenia seperti manusia pada umumnya. Dengan tidak ikut mengucilkan dan mem-bully. Sikap seperti itu sudah lebih daripada cukup.

Terpisah, dr Ronny SpKj, mengakui masih ada stigma yang menempel kepada pengidap skizofrenia. Yang dikaitkan dengan kecenderungan bermasalah. Seperti kurang beribadah hingga orang yang sedang kerasukan makhluk halus.

Pandangan seperti itu membuat anggota keluarga penderita jadi malu. Alhasil alih-alih membawa ke tenaga profesional, keluarga justru  memilih menyembunyikan penderita skizofrenia.

“Banyak yang dikurung hingga dipasung dan malah membuat mereka menjadi parah,” tuturnya.

Padahal, menurut Ronny, seharusnya anggota keluarga harus menjadi support system bagi para pengidap. Jika ada tanda-tanda awal, Ronny menyarankan kepada anggota keluarga untuk segera membawa pengidap ke tenaga profesional. “Jangan pernah kucilkan mereka tapi sayangi mereka dan rawat mereka,” tutupnya.

 

 

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Kediri, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Kediri”. Caranya klik link join telegramradarkediri. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.






Reporter: Karen Wibi

Hari ini, 24 Mei, adalah Hari Skizofrenia Sedunia. Tujuannya, memunculkan kesadaran masyarakat bahwa pengidap penyakit ini bisa disembuhkan. Sayang, masih banyak yang memilih sikap mengucilkan mereka.

Puluhan orang berkumpul di lapangan rumput milik Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Bina Laras (UPT RSBL) Dinsos Jatim. Tempatnya persis di tengah, dikelilingi bangunan kantor yang berada di Desa Butuh, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri itu.

Sebagian duduk berjajar di bangku kayu yang ada di tepi lapangan. Sisanya, lesehan di rumput hijau. Tak terusik oleh terik matahari yang bersinar terik di pukul 10.00 itu. Sebab, sinarnya tak langsung mengena ke orang-orang berseragam kaos abu-abu kombinasi lengan warna hijau tersebut. Lebih dulu terhalang pepohonan yang tumbuh di tepi lapangan.

Orang-orang itu adalah penderia skizofrenia. Penyakit gangguan kejiwaan, yang penderitanya tak bisa membedakan antara halusinasi dan realita. Di pagi hingga menjelang siang itu, mereka mengikuti kegiatan pemulihan. Bergantian mereka bernyanyi secara karaoke.

“Kegiatan ini untuk membangun kepercayaan diri penderita,” ucap Kepala UPT RSBL Kediri Singgih Tri Wimbanu melalui Pekerja Sosial (Peksos) Nurulloh Putra.

Satu per satu penderita skizofrenia maju. Diminta menyanyikan satu lagu. Salah satunya adalah TB. Wanita itu memilih bernyanyi yang sangat menggambarkan emosinya. Berjudul ‘Mama Aku Ingin Pulang’ dari artis Nike Ardilla.

Ya, TB-wanita berusia 30 tahun-memang merindukan suasana rumah. Meskipun dia sebenarnya lebihkerasan di panti rehabilitasi. Merasa lebih tenang. Banyak petugas yang peduli dengan dirinya. Yang bersedia meluangkan waktu untuk sekadar mendengarkan ceritanya kala sedih.

Berbeda ketika dia ada di luar panti. Yang justru membuatnya seperti orang asing. Keluarga dan tetangga tidak mau menerima kehadirannya.

“Tapi saya (tetap) mau pulang. Kasihan bapak di rumah, soalnya ibuk sudah pulang (meninggal, Red),” ucapnya lirih.

Problem seperti yang dirasakan TB terjadi di semua penderita skizofrenia. “Masih banyak para pengidap skizofrenia di sini yang malah dibully, dikucilkan, bahkan dibuang,” ujar Putra.

Di UPT RSBL Kediri itu, ada 150 pasien yang dirawat. Mayoritas pengidap skizofrenia. “Setidaknya sampai 50 pasien yang mengidap skizofrenia,” terangnya.

Baca Juga :  Utamakan ‘Jeneng’ daripada ‘Jenang’

Sebagian besar kondisinya parah. Sudah tidak bisa membedakan antara kenyataaan dan halusinasi. Kondisi yang menunjukkan penderita sudah lama mengidap skizofrenia.

Ada alasan mengapa banyak pasien yang datang dalam kondisi parah. Salah satunya adalah keluarga yang enggan mengobatkan. Banyak yang memilih membawa ke ‘orang pintar’.

Padahal, menurut Putra, para pasien skizofrenia dapat disembuhkan tanpa harus dibawa ke panti rehabilitasi. Caranya adalah dengan mendeteksi tanda-tanda awal.

Dokter Ronny SpKj, dokter kejiwaan, menyebut ada beberapa tanda awal yang harus diperhatikan oleh keluarga atau kerabat terdekat. Paling mudah terlihat adalah perubahan sikap dan emosi. Dari yang menjadi pendiam, mudah marah, hingga menarik diri dari lingkungan. Bila seperti itu, keluarga harus segera bertanya. “Karena para pengidap rata-rata tidak tahu kalau mereka sedang sakit,” ujarnya.

Jika orang tersebut mulai mengidap skizofrenia, maka anggota keluarga harus segera membawanya ke tenaga profesional. Semakin cepat mereka membawa ke tenaga profesional, semakin mudah untuk sembuh. “Jangan malu jika ada keluarga yang mengidap gangguan kejiwaan. Mereka harus tetap kita sayangi,” pungkasnya.

Kembali ke Putra, dia menyebut banyak pengidap skizofrenia yang akhirnya sembuh setelah dirawat di UPT RSBL Kediri. Walaupun tidak sembuh seratus persen, namun bisa kembali ke masyarakat. “Ada yang sudah kembali bekerja dan kelihatan hidup normal,” ujarnya.

Sayangnya, walau sempat dianggap sembuh, ada beberapa kasus pengidap skizofrenia kembali kumat. Penyebabnya, keluarga yang acuh. Karena terlihat sudah sembuh, mereka tidak memaksakan agar mantan pengidap skizofrenia minum obat secara rutin.

Di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Laras (RSBL) Kediri ada sebuah slogan yang dipasang di kantor bagian depan. Yaitu tulisan Sayangi Kami. Slogan tersebut bukan hanya menjadi pajangan. Namun juga harapan dari para pengidap skizofrenia. Karena nyatanya, ketika di luar, masih banyak para pengidap skizofrenia yang malah dibully dan tetap dikucilkan meski sudah sembuh.

“Dari asesmen diketahui banyak dari pengidap skizofrenia yang semakin parah karena dikucilkan,” ujar Kepala UPT Rehabilitasi Sosial Bina Laras (RSBL) Kediri Singgih Tri Wimbanu melalui Pekerja Sosial (Peksos) Nurulloh Putra.

Baca Juga :  Macan Putih Butuh Tambahan Pemain di Semua Lini

Pengucilan dan pem-bully-an yang dilakukan masyarakat tergolong parah. Mereka melakukannya mulai dari pengidap mengalami tanda-tanda awal, ketika mengidap parah, bahkan ketika pasien itu sembuh.

Ironisnya, sikap itu tak hanya oleh orang lain, anggota keluarga pasien pun melakukan hal serupa. Tak sekadar dikucilkan, banyak pula yang sampai memasung.

“Bahkan ada yang diusir,” tambah Putra.

Sikap seperti itu yang disayangkan Putra. Pengucilan hanya akan membuat penderita kian tertekan. Kondisi kejiwaannya pun kian parah. “Bahkan sering ada orang yang lewat depan panti cuman buat mengolok-olok para pasisen,” ungkapnya menggambarkan bagaimana keterlaluannya sikap pada penderita skizofrenia.

Lalu, bagaimana seharusnya sikap keluarga dan masyarakat? Putra menyebut jika keluarga harus menjadi obat pertama bagi penderita. Yaitu menjadi teman curhat atau menjadi pengawas ketika diperlukan.

Sedangkan bagi masyarakat sekitar, Putra menyebut jika mereka harus menganggap para pengidap skizofrenia seperti manusia pada umumnya. Dengan tidak ikut mengucilkan dan mem-bully. Sikap seperti itu sudah lebih daripada cukup.

Terpisah, dr Ronny SpKj, mengakui masih ada stigma yang menempel kepada pengidap skizofrenia. Yang dikaitkan dengan kecenderungan bermasalah. Seperti kurang beribadah hingga orang yang sedang kerasukan makhluk halus.

Pandangan seperti itu membuat anggota keluarga penderita jadi malu. Alhasil alih-alih membawa ke tenaga profesional, keluarga justru  memilih menyembunyikan penderita skizofrenia.

“Banyak yang dikurung hingga dipasung dan malah membuat mereka menjadi parah,” tuturnya.

Padahal, menurut Ronny, seharusnya anggota keluarga harus menjadi support system bagi para pengidap. Jika ada tanda-tanda awal, Ronny menyarankan kepada anggota keluarga untuk segera membawa pengidap ke tenaga profesional. “Jangan pernah kucilkan mereka tapi sayangi mereka dan rawat mereka,” tutupnya.

 

 

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Kediri, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Kediri”. Caranya klik link join telegramradarkediri. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.






Reporter: Karen Wibi

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/