Menjelang hari jadinya yang ke-1.216, Kabupaten Kediri gencar mendaftarkan karya lokal mereka sebagai kekayaan intelektual komunal. Salah satunya adalah seni wayang krucil. Yang kisahnya bersumber dari cerita Panji.
MELISA MUDAWATUL K., Kabupaten, JP Radar Kediri
Sosok ini sangat dikenal di Dusun Kunir, salah satu dusun di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu. Punya nama panggung Ki Kondho Brodiyanto. Namun, panggilan sehari-harinya adalah Brodin. Sedikit melenceng dari nama aslinya, Khoirudin.
Ada seperangkat gamelan di teras rumahnya. Yang menandakan bahwa lelaki itu bergelut dengan kesenian Jawa. Namun, yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang dalang justru tersembunyi.
“Wayangnya saya simpan di bawah meja ruang tamu,” ucap Brodin sembari membuka penutup meja. Segera saja terlihat tumpukan anak wayang yang terbuat dari kayu pipih.
Brodin memang bukan sembarang dalang. Yang dia mainkan adalah wayang krucil. Kesenian yang telah menjadi kekayaan intelektual komunal (KIK) dari Kabupaten Kediri.
Wayang jenis ini berbeda dengan wayang kulit. Meskipun anak wayangnya sama-sama berbentuk pipih tapi bahan pembuatnya bukan kulit. Melaikan dari kayu. Demikian pula ceritanya. Bukan berdasar pada kisah Mahabrata ataupun Ramayana.
“Cerita wayang krucil tentang kisah kerajaan di Jawa. Mulai babad tanah Jawa hingga cerita Panji,” terang lelaki yang sudah mendalang sejak kelas empat SD ini.
Meskipun berbeda, show wayang krucil punya peminat yang tidak sedikit. Setiap Jumat Pahing Brodin masih punya jatah manggung di berbagai desa di sekitarnya.
Justru, yang sulit adalah mencari generasi penerusnya. Anak laki-lakinya yang kini duduk di kelas satu SMP juga enggan menapaktilasi jalan sebagai dalang wayang krucil. Dia pun mencoba membuka diri bagi pemuda yang ingin belajar.
“Sulit mencari penerus, tidak seperti di wayang kulit,” keluh dalang yang kini juga memadukan pertunjukan dengan musik modern agar lebih menarik penonton ini.
Selain cerita yang berbeda, bahasa yang digunakan dalam pentas wayang krucil juga bukan bahasa pepak sampurna atau krama inggil seperti di wayang kulit. Dalang dalam pagelaran wayang krucil menggunakan bahasa madya, yang digunakan masyarakat jelata.
Harus diakui, popularitas wayang krucil jauh di bawah wayang kulit. Karena itu, memadukan dengan seni kontemporer. Mulai campursari, keroncong, pop, hingga dangdut. Ada juga selipan ‘macak gendengan’. Yaitu atraksi di tengah pertunjukan yang menampilkan sinden berkostum unik.
“Tujuannya menghibur penonton,” ucapnya.
Menarik minat kaum muda memang jadi tujuan Brodin saat ini. Mengajak pemuda dan pelajar bergabung. Hal itu membuat seluruh wiyaga, orang yang memainkan gamelan, usianya masih muda. Selain itu, dia juga berinovasi membaut suvenir wayang krucil.
“Tujuannya agar seni ini lestari. Karena merupakan kesenian dari Kediri,” ucapnya.
Sementara, Dekky Susanto, anggota Dewan Kesenian Kabupaten Kediri (DK4) menyebutkan, wayang krucil sangat lekat dengan Kediri. Lekatnya wayang krucil dengan Kediri bisa dilihat basic kisah yang merupakan cerita Panji. Karena itulah diajukan sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK) dari Kabupaten Kediri.
“Kalau tidak segera didaftarkan takutnya nanti hilang. Terus diaku-aku oleh daerah lain,” terang Dekky.
Awal mulanya pun diklaim dari Kediri. Dan itu dibuktikan dengan pelaku seni dan perajin wayang krucil yang banyak berasal dari daerah ini. Meskipun, harus diakui, saat ini sudah mulai langka dan hampir punah. Terlihat dari jumlah dalangnya yang hanya empat orang. Itupun, salah seorang di antaranya sudah menyatakan pensiun.
Hebatnya lagi, menurut Dekky, ada wayang krucil di Kediri yang usianya ratusan tahun. Wayang itu masih disimpan dan tidak diperjualbelikan. “Umurnya di kisaran 100 hingga 200 tahun. Dipegang sendiri oleh dalangnya,” terang Dekky. (fud)
Untuk mendapatkan berita-berita terkini Jawa Pos Radar Kediri, silakan bergabung di Grup Telegram “Radar Kediri”. Caranya klik link join telegramradarkediri. Sebelumnya, pastikan Anda sudah menginstal aplikasi Telegram di ponsel.