Keberadaan Wisata Gunung Kelud menjadi denyut nadi para tukang ojek. Salah satunya Bagio. Wakil Ketua Paguyuban Tukang Ojek Among Karyo Satriyo Kelud itu terpaksa melakukan segala cara untuk bertahan.
===================================
DEWI AYU NINGTYAS, KABUPATEN JP Radar Kediri
===================================
Lebih seratus sepeda motor berplat AG berjajar rapi di lereng Gunung Kelud, Sabtu (10/4). Tepatnya di lahan parkir terakhir. Tak jauh dari tempat itu, terlihat sejumlah pria yang duduk di sepeda motornya. Mereka sama-sama mengenakan rompi hijau. Identitas untuk para tukang ojek di kawasan Gunung Kelud.
Wajah mereka terlihat semringah. Maklum, hari itu adalah hari pertama pembukaan kawasan wisata Gunung Kelud. Tanda mereka telah diperbolehkan kembali beroperasi. Mengantar para wisatawan ke puncak Gunung Kelud
Salah satunya adalah Bagio. Wakil Ketua Paguyuban Tukang Ojek Among Karyo Satriyo Kelud yang terbentuk 2014 lalu. Pria 41 tahun ini mengatakan, uji coba pembukaan ini telah lama dinantikan. Terhitung setahun dia tidak bekerja. “Pandemi memang membuat tambahan perekonominan berhenti total,” katanya kepada Jawa Pos Radar Kediri, Sabtu, (10/4) lalu.
Bagio menuturkan, selama pandemi Covid-19 yang mulai Maret 2020 lalu dia bisa dikatakan menganggur. Untuk biaya makan sehari-hari, bersama sang istri Sri Lestari, 39 dan sang anak pun harus alih profesi menjadi buruh tani serabutan. Itu pun belum tentu setiap hari bisa dilakukan.
Alih profesi menjadi buruh tani itu membuatnya harus terjun langsung ke persawahan nanas. Membersihkan rumput dan bongkar lahan. “Mau tidak mau menyesuaikan keadaan,” ujarnya saat itu seraya membuka topi dan mengusap kening.
Dengan menjadi buruh tani serabutan, Bagio hanya bisa mengantongi uang yang tidak lebih Rp 30 ribu. Itu dari bekerja pukul 07.00 sampai 09.00.
Pendapatan yang hanya cukup untuk keperluan makan sehari-hari itu tidak jarang harus dikelola sedemikian rupa. Itu dilakukan untuk berjaga-jaga jika tidak ada pekerjaan. “Uang Rp 30 ribu untuk rumah tangga dapat apa?” ujarnya.
Seraya menunggu pengunjung yang akan menggunakan jasa ojeknya, Bagio pun mengungkapkan, untuk bertahan memenuhi biaya hidup keluarganya selama setahun itu pun dia harus nekat. Dia terpaksa menggunakan uang di tabungan.
Bahkan, uang di tabungan yang enggan disebutkan jumlahnya itu pun masih kurang. Cara lain pun dilakukan dengan merembet jual perhiasan istri dan anaknya. “Dengan kesepakatan. Mau tidak mau untuk memenuhi perekonomian sehari-hari,” ungkap warga Desa Sugihwaras, Ngancar itu.
Sri Lestari, sang istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun tidak bisa berbuat banyak dengan kondisi yang terjadi. Itulah sebabnya dia membuat kesepakatan jual perhiasan. Kondisi itu diakui masih tertolong dengan anak tunggalnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
“Di akhir tahun, uang juga sudah habis. Akhirnya saya utang,” ujarnya seraya menyebut untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya. Upaya itu harus dilakukan saat tidak ada panggilan menjadi buruh tani,
Selama pandemi Covid-19 ini pun diakui alumnus SMAN Wates itu memang membuatnya terpuruk. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Pilihannya hanya menganggur atau menjadi buruh tani. “Kalau pun ada peluang mengerjakan pekerjaan lainnya mau saja, tetapi di daerah sini hanya pertanian yang ada,” terangnya.
Padahal, sebelum pandemi, pendapatan di hari Sabtu dan Minggu saja mencapai Rp 500 ribu. Sedangkan selama pandemi ini nol rupiah.
Sejauh ini dengan uji coba pembukaan Wisata Gunung Kelud saat ini pun, Bagio dan ratusan tukang ojek lain sudah mempersiapkan sarana dan prasarana protokol kesehatan. Tidak terkecuali perawatan sepeda motor dengan sederhana untuk sementara waktu. “Maunya dirawat, tapi mending untuk biaya makan dulu,” ujarnya. Selanjutnya dia menaruh harap untuk segera dibuka secara resmi. Itu lantaran ada 175 tukang ojek memang menggantungkan hidup dari kunjungan wisatawan.