29.2 C
Kediri
Thursday, March 23, 2023

Mereka yang Berharap-harap Cemas Tunggu Jembatan Mrican Dibangun Lagi

- Advertisement -

Mereka harus kehilangan ‘wajah’ rumah karena dikepras. Terpaksa merenovasi lagi bangunannya. Toh, semua itu mereka terima agar harapan perekonomian bisa bagus seperti dulu.

Suara mesin berdengung keras di Sungai Brantas. Asalnya dari perahu kayu yang melaju pelan memotong arus. Berlayar dari tepi sungai yang berada di wilayah Desa Jabon, Kecamatan Banyakan.

Perahu itu dalam perjalanan menuju sisi yang lain. Tepi sungai yang berada di wilayah Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, yang masih 40 meter lagi. Di perahu itu menumpang beberapa warga dengan kendaraan roda duanya. Mereka adalah warga yang memanfaatkan perahu penyeberangan untuk melintas.

Ya, kapal tersebut menjadi jalan pintas bagi warga yang ingin melintas dari wilayah barat sungai ke timur. Menjadi satu-satunya yang beroperasi setelah Jembatan Mrican ambrol pada 2017 silam. Keberadaan perahu itulah yang menggantikan peran jembatan yang hancur.

Suasana sekitar dermaga perahu penyeberangan itu sepi. Hanya ada dua tiga sepeda motor saja yang melintas. Itupun setelah 10 menit berselang. Wajar bila suara mesin perahu terdengar jelas dari jalanan beraspal.

- Advertisement -

“Kalau dulu, ketika masih ada jembatan, suasananya ya ramai. Meskipun hanya (sepeda) motor,” kenang Sri, yang rumahnya berada di tepi jalan, akses menuju jembatan yang kini tidak ada itu.

Nenek berusia 62 tahun  ini memang menjadi saksi pasang surut keramaian di tempat itu. Ketika jembatan masih ada, jalur tersebut menjadi pintasan bagi mereka yang menuju beberapa wilayah di barat sungai. Terutama bagi pekerja PT Gudang Garam Tbk.

Baca Juga :  Ketika Anak-Anak Kediri Terjebak dalam Pembelajaran Jarak Jauh

Pun, ketika hanya kendaraan roda dua yang diperbolehkan melintas, jalanan di tempat itu masih padat. Warga sekitar pun ikut terdampak. Mereka  banyak yang mendirikan warung dan tempat usaha. “Kalau di sini (wilayah yang masuk Jongbiru, Red) yang terkenal pecel tumpang,” terang Sri.

Kondisinya berubah  drastis ketika jembatan putus dan akhirnya dibongkar. Memang, masih ada perahu penyeberangan, namun mereka yang melintas tak sebanyak dulu. Sisi ekonomi warga pun ikut terpengaruh. Warung-warung dan tempat usaha jadi sepi. Kekurangan pembeli hingga akhirnya tutup satu per satu.

Nah, ketika muncul gembar-gembor jembatan akan dibangun lagi, warga pun menyambut gembira. Terlebih dengan adanya pelebaran jalan menuju jembatan. Setidaknya, warga berharap geliat ekonomi mereka bisa seperti dulu lagi.

Harapan warga itu bukan tanpa pengorbanan. Terutama yang berada di pinggir jalan, harus merelakan sebagian lahannya termakan proyek pelebaran. Salah satunya adalah Kususiyah, 70. Perempuan yang membuka toko pracangan dan obras itu terpaksa ‘memundurkan’ rumahnya lima meter.

Biaya merenovasi rumah itu berasal dari uang ganti rugi. Uang itu sebagian sudah habis untuk menata ulang tempat tinggal. Ruangan yang dulu untuk menerima tamu kini ditambahi fungsi sebagai warung kopi dan mi goreng. Anaknya yang berjualan makanan-makanan itu.

Baca Juga :  Duh, Rumah dan Sawah pun Tergenang

Warung tersebut baru dibuka sekitar 2-3 bulanan. Perempuan yang akrab dipanggil Bu Sus itu mengatakan, usaha sang anak sering dia yang menjaga. Sembari menunggu warga yang kerap mampir dan mengobras. Hal itu bisa dilakukan karena orang yang ke warung masih belum banyak.

“Masih sepi, sejak jembatan ambruk,” ujar perempuan berhijab hitam itu.

Sus berharap, jika jembatan nanti dibangun, wilayah Jongbiru kembali ramai. Kemudian, konsumen ke warung anaknya, serta yang mengobras ke dirinya bertambah.

Sambil memandangi keramik dan bekas ruang tamu yang masih terlihat di depan rumah, Sus bercerita dulu dia bisa menerima pesanan hingga belasan obrasan dalam sehari. Kebanyakan dari warga Jongbiru, Jabon, dan Kelurahan Mrican di Kota Kediri. Yang diobras juga macam-macam. Kaus, kemeja, hingga celana.

Kini, Sus lebih sering menunggui ruang tamunya saja. Dapat dua atau tiga pengobras sudah sangat untung. Meski yang datang sebagian besar tetangganya di Jongbiru saja.

Sus kemudian menyapu halaman. Beberapa orang mampir ke warung. Membeli minuman. Sus pun menghentikan aktivitasnya. Melayani dan berbincang sebentar. Dalam obrolan itu juga mencuat harapan, agar ketika jembatan kembali dibangun, kehidupan dan perekonomian warga sekitar kembali terangkat. (fud)

- Advertisement -

Mereka harus kehilangan ‘wajah’ rumah karena dikepras. Terpaksa merenovasi lagi bangunannya. Toh, semua itu mereka terima agar harapan perekonomian bisa bagus seperti dulu.

Suara mesin berdengung keras di Sungai Brantas. Asalnya dari perahu kayu yang melaju pelan memotong arus. Berlayar dari tepi sungai yang berada di wilayah Desa Jabon, Kecamatan Banyakan.

Perahu itu dalam perjalanan menuju sisi yang lain. Tepi sungai yang berada di wilayah Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, yang masih 40 meter lagi. Di perahu itu menumpang beberapa warga dengan kendaraan roda duanya. Mereka adalah warga yang memanfaatkan perahu penyeberangan untuk melintas.

Ya, kapal tersebut menjadi jalan pintas bagi warga yang ingin melintas dari wilayah barat sungai ke timur. Menjadi satu-satunya yang beroperasi setelah Jembatan Mrican ambrol pada 2017 silam. Keberadaan perahu itulah yang menggantikan peran jembatan yang hancur.

Suasana sekitar dermaga perahu penyeberangan itu sepi. Hanya ada dua tiga sepeda motor saja yang melintas. Itupun setelah 10 menit berselang. Wajar bila suara mesin perahu terdengar jelas dari jalanan beraspal.

“Kalau dulu, ketika masih ada jembatan, suasananya ya ramai. Meskipun hanya (sepeda) motor,” kenang Sri, yang rumahnya berada di tepi jalan, akses menuju jembatan yang kini tidak ada itu.

Nenek berusia 62 tahun  ini memang menjadi saksi pasang surut keramaian di tempat itu. Ketika jembatan masih ada, jalur tersebut menjadi pintasan bagi mereka yang menuju beberapa wilayah di barat sungai. Terutama bagi pekerja PT Gudang Garam Tbk.

Baca Juga :  Tradisi-Tradisi Khas Pondok Pesantren Sepanjang Ramadan (2)

Pun, ketika hanya kendaraan roda dua yang diperbolehkan melintas, jalanan di tempat itu masih padat. Warga sekitar pun ikut terdampak. Mereka  banyak yang mendirikan warung dan tempat usaha. “Kalau di sini (wilayah yang masuk Jongbiru, Red) yang terkenal pecel tumpang,” terang Sri.

Kondisinya berubah  drastis ketika jembatan putus dan akhirnya dibongkar. Memang, masih ada perahu penyeberangan, namun mereka yang melintas tak sebanyak dulu. Sisi ekonomi warga pun ikut terpengaruh. Warung-warung dan tempat usaha jadi sepi. Kekurangan pembeli hingga akhirnya tutup satu per satu.

Nah, ketika muncul gembar-gembor jembatan akan dibangun lagi, warga pun menyambut gembira. Terlebih dengan adanya pelebaran jalan menuju jembatan. Setidaknya, warga berharap geliat ekonomi mereka bisa seperti dulu lagi.

Harapan warga itu bukan tanpa pengorbanan. Terutama yang berada di pinggir jalan, harus merelakan sebagian lahannya termakan proyek pelebaran. Salah satunya adalah Kususiyah, 70. Perempuan yang membuka toko pracangan dan obras itu terpaksa ‘memundurkan’ rumahnya lima meter.

Biaya merenovasi rumah itu berasal dari uang ganti rugi. Uang itu sebagian sudah habis untuk menata ulang tempat tinggal. Ruangan yang dulu untuk menerima tamu kini ditambahi fungsi sebagai warung kopi dan mi goreng. Anaknya yang berjualan makanan-makanan itu.

Baca Juga :  Halte Gres Malah Tak Difungsikan

Warung tersebut baru dibuka sekitar 2-3 bulanan. Perempuan yang akrab dipanggil Bu Sus itu mengatakan, usaha sang anak sering dia yang menjaga. Sembari menunggu warga yang kerap mampir dan mengobras. Hal itu bisa dilakukan karena orang yang ke warung masih belum banyak.

“Masih sepi, sejak jembatan ambruk,” ujar perempuan berhijab hitam itu.

Sus berharap, jika jembatan nanti dibangun, wilayah Jongbiru kembali ramai. Kemudian, konsumen ke warung anaknya, serta yang mengobras ke dirinya bertambah.

Sambil memandangi keramik dan bekas ruang tamu yang masih terlihat di depan rumah, Sus bercerita dulu dia bisa menerima pesanan hingga belasan obrasan dalam sehari. Kebanyakan dari warga Jongbiru, Jabon, dan Kelurahan Mrican di Kota Kediri. Yang diobras juga macam-macam. Kaus, kemeja, hingga celana.

Kini, Sus lebih sering menunggui ruang tamunya saja. Dapat dua atau tiga pengobras sudah sangat untung. Meski yang datang sebagian besar tetangganya di Jongbiru saja.

Sus kemudian menyapu halaman. Beberapa orang mampir ke warung. Membeli minuman. Sus pun menghentikan aktivitasnya. Melayani dan berbincang sebentar. Dalam obrolan itu juga mencuat harapan, agar ketika jembatan kembali dibangun, kehidupan dan perekonomian warga sekitar kembali terangkat. (fud)

Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru

/