24.1 C
Kediri
Thursday, June 1, 2023

Ketika Jalan Pattimura Jadi Kawasan Angkringan Baru di Kota Kediri

Angkringan Bermodal Kecil tapi Untungnya Besar

Yang dijajakan hanya makanan ‘remeh’, seperti nasi kucing hingga kopi jos. Namun, konsumennya berjejal di setiap malam. Menjadikan jalan yang jadi sentra perdagangan di siang hari ini sebagai episentrum baru kehidupan malam di Kediri.

Wahyudi sibuk melayani pembeli yang antre di depan gerobak angkringannya. Pemuda asal Kelurahan Kemasan, Kecamatan Kota, Kota Kediri ini beberapa kali mengangkat teko dari tungku berbahan bakar arang yang berada di samping gerobak. Menuangkan ke cangkir yang sudah terisi kopi bercampur gula. Sesaat kemudian, wedang kopi itu dia sajikan ke seorang pelanggan yang duduk di dengklek panjang di depan gerobak.

Pria 28 tahun ini baru dua tahun menekuni pekerjaan sebagai pemilik angkringan. Sebelumnya dia adalah sopir di salah satu perusahaan travel. Hantaman pandemi membuat travelnya limbung dan dia pun harus mencari mata pencaharian baru.

“Ya, harus diakui pandemi yang mendorong saya menjajakan makanan di angkringan. Modalnya kecil tapi untungnya lumayan,” sebutnya.

Ketika mengawali usaha angkringan, Wahyudi sengaja memilih lokasi di Jalan Pattimura. Karena masih banyak lahan yang bisa digunakan. Berbeda dengan di Jalan Dhoho yang sudah sesak dengan pedagang pecel dan nasi goreng.

Wahyudi bukan pembuka usaha angkringan di kawasan yang dekat dengan Pasar Setonobetek ini. Sudah ada tiga angkringan yang berdiri. Seiring dengan waktu, jumlahnya bertambah dengan pesat. Saat ini, ada belasan angkringan yang berjajar di sepanjang jalan, mulai dari perempatan Sumurbor hingga depan Pasar Setonobetek.

Semuanya menjajakan makanan ala angkringan. Menggunakan gerobak yang dilengkapi dengan tungku berbahan bakar arang, ceret, gelas, bangku kayu, hingga tikar. Makanan dan minuman yang disediakan juga ‘kelas rakyat’. Nasi kucing, kopi jos, aneka minuman seperti jahe geprek, hingga aneka makanan tusuk.

Baca Juga :  Serunya Berburu Gerhana Matahari Pakai Teleskop Hingga Pin Hole di SLG

“Mungkin karena modalnya murah jadi mudah ditiru,” duga Wahyudi ketika ditanya perihal merebaknya pedagang angkringan di kawasan itu saat ini.

Untuk memulai usaha angkringan memang tak butuh biaya mahal. Hanya di kisaran Rp 3,5 juta. Itu untuk beli gerobak, tungku, teko, gelas, tikar, dan peralatan lain. Sedangkan modal harian untuk membeli bahan makanan dan minuman sekitar Rp 1,5 juta.

Sama dengan Wahyudi, Asep Suryanto mengaku merintis usaha angkringan di Jalan Pattimura pada 2020. Saat dia menganggur setelah berhenti kerja sebagai karyawan minimarket. Sempat menjadi driver ojek online, nasib Asep akhirnya bertemu dengan angkringan.

“Awalnya saya berpikir usaha yang modalnya sedikit tapi untungnya besar itu apa?” kenangnya.

Modal yang digunakan pemuda 26 tahun ini sebesar Rp 3,5 juta. Uang itu pemberian sang paman. Saat itu, menurut pengakuannya, hanya dia yang berjualan angkringan di kawasan ini.

“Kalau sekarang sudah banyak seperti ini,” ucapnya.

Sebagai pionir, Asep tergolong sukses. Dia kini memiliki enam gerobak angkringan. Lokasinya tersebar di beberapa lokasi di Kota Kediri. Tidak hanya di Jalan Pattimura.

Soal keuntungan, Asep bisa tersenyum lebar. Omzet per harinya mencapai Rp 3 juta. Bahkan, bila akhir pekan, pendapatannya menembus angka Rp 5 juta. Itu untuk jam operasi mulai 15.30 hingga tengah malam.

Tak hanya untung besar yang dia dapat, Asep juga bisa mengkaryakan keluarga besarnya. “Semua yang dijual di angkringan dibuat oleh keluarga saya. Mulai dari tusuk-tusukan hingga nasi kucing,” papar pemuda yang tinggal di Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Pesantren ini.

Baca Juga :  Mahasiswa pun Bisa Memberantas Korupsi

Merebaknya angkringan juga mendatangkan rezeki tambahan bagi warga sekitar lokasi. Terutama dari pendapatan parkir pengunjung. “Untuk menjaga hubungan baik dengan warga saya minta tolong mereka mengurusi parkir. Hasilnya urusan mereka, toh malam hari sudah tidak ada petugas parkir,” terang Asep.

Namun, baik Wahyudi maupun Asep, mengaku telah siap menghadapi berbagai situasi. Mereka sudah mengantisipasi bahwa bisnis angkringan mungkin akan mengalami pasang surut. Saat ini, adalah periode kedua setelah bisnis sejenis meledak pada 2014.

Tantangan terberat adalah kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Itu menjadi kendala besar bagi pedagang angkringan. “Orang terbiasa datang ke angkringan mulai pukul 20.00 malam. Sedangkan PPKM mengharuskan seluruh kegiatan atau usaha wajib berhenti pukul 20.00 malam,” kata Asep.

Untungnya, saat ini situasi pandemi mulai landai. Rata-rata para pedagang di kawasan ini bisa membuka lapak hingga pukul 22.30. Bahkan, hingga tengah malam.

Yang mungkin menjadi tantangan mereka adalah perubahan tren warga. Baik Wahyu maupun Asep tak tahu apakah tren angkringan akan terus eksis. Namun, mereka telah siap bila hal itu terjadi. Tentu dengan adaptasi kebutuhan zaman.

“Kalau dulu meredup karena kalah bersaing soal fasilitas seperti wifi yang banyak tersedia di warung kopi dan kafe. Nah, ke depan tantangannya mungkin soal konsistensi. Apakah tetap bisa eksis dengan pembatasan aktivitas yang mungkin berlaku lagi di masa pandemi seperti ini atau tidak,” duganya.






Reporter: Ilmidza Amalia Nadzira

Yang dijajakan hanya makanan ‘remeh’, seperti nasi kucing hingga kopi jos. Namun, konsumennya berjejal di setiap malam. Menjadikan jalan yang jadi sentra perdagangan di siang hari ini sebagai episentrum baru kehidupan malam di Kediri.

Wahyudi sibuk melayani pembeli yang antre di depan gerobak angkringannya. Pemuda asal Kelurahan Kemasan, Kecamatan Kota, Kota Kediri ini beberapa kali mengangkat teko dari tungku berbahan bakar arang yang berada di samping gerobak. Menuangkan ke cangkir yang sudah terisi kopi bercampur gula. Sesaat kemudian, wedang kopi itu dia sajikan ke seorang pelanggan yang duduk di dengklek panjang di depan gerobak.

Pria 28 tahun ini baru dua tahun menekuni pekerjaan sebagai pemilik angkringan. Sebelumnya dia adalah sopir di salah satu perusahaan travel. Hantaman pandemi membuat travelnya limbung dan dia pun harus mencari mata pencaharian baru.

“Ya, harus diakui pandemi yang mendorong saya menjajakan makanan di angkringan. Modalnya kecil tapi untungnya lumayan,” sebutnya.

Ketika mengawali usaha angkringan, Wahyudi sengaja memilih lokasi di Jalan Pattimura. Karena masih banyak lahan yang bisa digunakan. Berbeda dengan di Jalan Dhoho yang sudah sesak dengan pedagang pecel dan nasi goreng.

Wahyudi bukan pembuka usaha angkringan di kawasan yang dekat dengan Pasar Setonobetek ini. Sudah ada tiga angkringan yang berdiri. Seiring dengan waktu, jumlahnya bertambah dengan pesat. Saat ini, ada belasan angkringan yang berjajar di sepanjang jalan, mulai dari perempatan Sumurbor hingga depan Pasar Setonobetek.

Semuanya menjajakan makanan ala angkringan. Menggunakan gerobak yang dilengkapi dengan tungku berbahan bakar arang, ceret, gelas, bangku kayu, hingga tikar. Makanan dan minuman yang disediakan juga ‘kelas rakyat’. Nasi kucing, kopi jos, aneka minuman seperti jahe geprek, hingga aneka makanan tusuk.

Baca Juga :  Serunya Berburu Gerhana Matahari Pakai Teleskop Hingga Pin Hole di SLG

“Mungkin karena modalnya murah jadi mudah ditiru,” duga Wahyudi ketika ditanya perihal merebaknya pedagang angkringan di kawasan itu saat ini.

Untuk memulai usaha angkringan memang tak butuh biaya mahal. Hanya di kisaran Rp 3,5 juta. Itu untuk beli gerobak, tungku, teko, gelas, tikar, dan peralatan lain. Sedangkan modal harian untuk membeli bahan makanan dan minuman sekitar Rp 1,5 juta.

Sama dengan Wahyudi, Asep Suryanto mengaku merintis usaha angkringan di Jalan Pattimura pada 2020. Saat dia menganggur setelah berhenti kerja sebagai karyawan minimarket. Sempat menjadi driver ojek online, nasib Asep akhirnya bertemu dengan angkringan.

“Awalnya saya berpikir usaha yang modalnya sedikit tapi untungnya besar itu apa?” kenangnya.

Modal yang digunakan pemuda 26 tahun ini sebesar Rp 3,5 juta. Uang itu pemberian sang paman. Saat itu, menurut pengakuannya, hanya dia yang berjualan angkringan di kawasan ini.

“Kalau sekarang sudah banyak seperti ini,” ucapnya.

Sebagai pionir, Asep tergolong sukses. Dia kini memiliki enam gerobak angkringan. Lokasinya tersebar di beberapa lokasi di Kota Kediri. Tidak hanya di Jalan Pattimura.

Soal keuntungan, Asep bisa tersenyum lebar. Omzet per harinya mencapai Rp 3 juta. Bahkan, bila akhir pekan, pendapatannya menembus angka Rp 5 juta. Itu untuk jam operasi mulai 15.30 hingga tengah malam.

Tak hanya untung besar yang dia dapat, Asep juga bisa mengkaryakan keluarga besarnya. “Semua yang dijual di angkringan dibuat oleh keluarga saya. Mulai dari tusuk-tusukan hingga nasi kucing,” papar pemuda yang tinggal di Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Pesantren ini.

Baca Juga :  Ini Daftar 13 Desa di Nganjuk yang Belum Appraisal Dampak Tol Kediri-Kertosono

Merebaknya angkringan juga mendatangkan rezeki tambahan bagi warga sekitar lokasi. Terutama dari pendapatan parkir pengunjung. “Untuk menjaga hubungan baik dengan warga saya minta tolong mereka mengurusi parkir. Hasilnya urusan mereka, toh malam hari sudah tidak ada petugas parkir,” terang Asep.

Namun, baik Wahyudi maupun Asep, mengaku telah siap menghadapi berbagai situasi. Mereka sudah mengantisipasi bahwa bisnis angkringan mungkin akan mengalami pasang surut. Saat ini, adalah periode kedua setelah bisnis sejenis meledak pada 2014.

Tantangan terberat adalah kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Itu menjadi kendala besar bagi pedagang angkringan. “Orang terbiasa datang ke angkringan mulai pukul 20.00 malam. Sedangkan PPKM mengharuskan seluruh kegiatan atau usaha wajib berhenti pukul 20.00 malam,” kata Asep.

Untungnya, saat ini situasi pandemi mulai landai. Rata-rata para pedagang di kawasan ini bisa membuka lapak hingga pukul 22.30. Bahkan, hingga tengah malam.

Yang mungkin menjadi tantangan mereka adalah perubahan tren warga. Baik Wahyu maupun Asep tak tahu apakah tren angkringan akan terus eksis. Namun, mereka telah siap bila hal itu terjadi. Tentu dengan adaptasi kebutuhan zaman.

“Kalau dulu meredup karena kalah bersaing soal fasilitas seperti wifi yang banyak tersedia di warung kopi dan kafe. Nah, ke depan tantangannya mungkin soal konsistensi. Apakah tetap bisa eksis dengan pembatasan aktivitas yang mungkin berlaku lagi di masa pandemi seperti ini atau tidak,” duganya.






Reporter: Ilmidza Amalia Nadzira

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/