Menolak melepaskan tanah untuk pembangunan Bandara Internasional Dhoho, Tugimin dan keluarganya kini tinggal sendiri di tegalan Dusun Guworejo, Desa/Kecamatan Tarokan. Menempati lahan tanpa tetangga di sekitarnya, lansia itu tak risau. Pun bahan makanan yang menurutnya justru melimpah.
Rumah Tugimin di Dusun Guworejo, Desa/Kecamatan Tarokan berada di tempat terpencil. Dari akses jalan utama menuju ke Waduk Guworejo, Desa/Kecamatan Tarokan, jaraknya sekitar 100 meter. Untuk menuju ke rumah lelaki yang kini berusia 62 tahun itu harus melewati jalan setapak.
Dari jalan utama, penanda jalan menuju ke rumahnya adalah jembatan yang lebarnya hanya satu meter. Otomatis, hanya kendaraan roda dua atau sepeda pancal yang bisa melewati jembatan tersebut.
Saat Jawa Pos Radar Kediri berkunjung ke rumahnya pada Rabu (5/10) lalu, rumah Tugimin menjadi satu-satunya bangunan di sana yang masih berpenghuni. Lima rumah lain yang sebelumnya merupakan tetangganya, sudah kosong.
“Rumah sebelah ini (tetangga yang berjarak 3 meter, Red) sudah tidak ditempati,” kata Tugimin yang semula terlihat curiga dengan kedatangan wartawan koran ini. Tugimin selalu mengira orang asing yang datang ke kampungnya adalah makelar tanah.
Para makelar tanah itu, selama ini selalu menawarkan harga yang lebih rendah. Hal itu pula yang membuat Tugimin menolak melepas tanahnya. “Harganya belum cocok,” tutur kakek yang rambutnya sudah memutih itu.
Dia mencontohkan, saat menghitung bangunan rumah, yang dihitung hanya luasan saja. Sedangkan tinggi bangunan ditiadakan. Padahal, semakin tinggi bangunan rumah, biaya untuk membangun juga besar.
Ini yang menurut Tugimin tidak masuk akal. Dia hanya meminta agar harga tanah dan bangunan dibeli dengan harga yang ideal. Dia tidak ingin kehidupannya menjadi semakin sulit setelah menjual tanah dan rumahnya kelak.
“Minimal ada tabungan untuk bertahan hidup,” papar Tugimin sembari menyebut harga tanah dan rumah di kawasan Tarokan dan Grogol kini sudah melonjak jauh.
Meski harga lahan dan tanah mereka laku sampai Rp 400 juta, saat dibangun di lokasi pemukiman yang baru biayanya membengkak. “Bangun rumah saja bisa habis Rp 200 juta,” keluhnya sembari menyinggung harga tanah yang juga sudah meroket.
Sesuai penawaran makelar yang terbaru, tanahnya ditawar Rp 250 ribu per meter. Harga itu menurutnya terlalu rendah. Seharusnya, tanahnya bisa laku hingga Rp 500 ribu per meter. Dia pun berjanji akan melepas tanahnya jika mendapat harga cocok.
Berbeda dengan Tugimin, rumah empat tetangganya kini sudah rata dengan tanah. Mereka meninggalkan rumah di tengah tegalan itu sejak dua bulan lalu. Sepeninggalan tetangganya, kini tinggalah Tugimin bersama Sri, 60, istrinya.
Apakah dia tidak ketakutan tinggal di tegalan sendiri? Lansia itu langsung menggeleng. “Justru merasa tenang dan bahagia,” paparnya. Tinggal di sekitar kebun membuat Tugimin tidak perlu pusing dengan lauk pauk.
Untuk kebutuhan sayuran, dia tinggal memetik di kebun. Demikian juga dengan bumbu memasak seperti cabai, dan lainnya. “ “Saya enggak perlu takut kehabisan sayuran untuk makan. Di belakang rumah ada cabai, singkong, dan tanaman lainnya yang bisa dimakan sewaktu-waktu,” tuturnya tenang.
Saat awal musim hujan seperti ini, Tugimin biasanya menyiapkan lahan di tegalannya untuk persiapan menanam jagung. Selain bertani, ia juga juga punya peliharaan sapi. Aktivitas lainnya ketika di ladang adalah mencari rumput untuk pakan sapi.
Rangkaian aktivitasnya itulah yang membuat Tugimin enggan meninggalkan rumahnya. Meski saat malam hari lingkungannya menjadi semakin sepi, dia tetap merasa nyaman. Apalagi, di rumahnya kini juga sudah ada aliran listrik.
Setiap malam ia selalu ditemani televisi. Adapun sang istri yang tidak beraktivitas di kebun kini bisa mengolah gadung dan menyimpannya di lemari es. “Kalau harganya sesuai pasti saya lepas,” jawabnya lagi ketika ditanya kapan dia akan menjual tanahnya.