Seni tabuh beduk dan kentongan di Ponpes Sabilul Huda dipelajari secara otodidak. Namun demikian, santri tidak boleh sembarangan memainkannya. Setidaknya, mereka harus mengikuti tradisi yang diturunkan pendahulunya.
Tradisi tabuh beduk dan kentongan untuk mengawali tadarusan di Pondok Pesantren Sabilul Huda diwariskan secara turun-temurun. Santri muda yang baru mondok di ponpes yang berlokasi di Kelurahan Jatirejo, Nganjuk itu, mengamati seniornya yang sudah mahir memainkan.
“Jadi belajarnya otodidak,” ujar M. Burhanudin, salah satu santri senior.
Pemuda 23 tahun itu sudah mondok di Sabilul Huda sejak duduk di kelas 3 SD. Awalnya, sebagai murid baru, Burhan mengaku melihat para seniornya menabuh beduk dan memukul kentongan. Setelah diamati, biasanya langsung dipraktikkan.
Dari sana, santri belajar memainkan musik beduk dan kentongan. Burhan mengatakan, setiap orang punya keahlian masing-masing. Misalnya dirinya yang lebih enjoy memukul kentongan. Sementara beberapa santri lain lebih jago menabuh beduk. “Kalau beduk saya tidak terlalu bisa,” ucap pemuda asli Lingkungan Templek, Jatirejo ini.
Bahkan, sebenarnya tidak semua santri menguasai. Itu tergantung dari kemauan dan keberanian mereka. Sebab, tidak semua anak berani mencoba mempraktikkannya. Karenanya, menurut Burhan, yang penting berani praktik lebih dulu.
Meski terkesan seperti klotekan, tempo dan nada yang ditimbulkan tidak boleh sembarangan. Muhammad Yasin, pengasuh ponpes menuturkan, pukulan harus seirama antara penabuh beduk dan pemukul kentongan. “Temponya juga harus pas,” urainya.
Dia mengatakan, santri diberikan kebebesan memaikan tempo dan nada. Hanya saja, tidak semua unsur seni musik dari luar bisa diimprovisasi. “Intinya tidak perlu neko-neko,” lanjut pria 46 tahun ini.
Suatu kali, pernah ada santri yang mencampurnya dengan musik tradisional. Sebenarnya nada yang dihasilkan tetap bagus. Masalahnya, menurut Yasin, tradisi tabuh beduk dan kentongan bukan pertunjukan seni. “Makanya saya larang dicampur-campur. Ini hanya penanda tadarusan, bukan pentas seni,” beber bapak tiga anak ini.
Setiap hari, kata Yasin, ada enam santri yang biasanya memainkan beduk sekaligus tadarusan secara bergantian. Karena itu, selama tujuh hari, total ada 42 santri yang dijadwalkan tadarus. Di hari kedelapan, jadwal kembali dari awal. Begitu seterusnya sampai hari ke-29. “Semuanya laki-laki,” terangnya.