Hanya 13 kepala keluarga yang bertahan tinggal. Hidup dengan fasilitas serba seadanya. Listrik dari PLN pun belum pernah mereka rasakan hingga sekarang.
Kampung ini bernama Onggoboyo. Lokasinya di Desa Babadan, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Berada di tengah perkebunan milik PTPN X, yang berada di kaki Gunung Kelud.
Ada 17 rumah yang berdiri di kampung ini. Sebagian sudah ditinggal pemiliknya merantau. Yang memilih tetap tinggal adalah warga yang bekerja sebagai buruh perkebunan yang tanamannya berupa tebu.
Rumah-rumah itu dibuat dari bahan yang sangat sederhana. Menggunakan bata merah dan kapur.
Jumlah warga yang tinggal di tempat ini tidak seperti era 1980 hingga 1990-an yang masih puluhan KK. Banyak yang pergi meninggalkan kampung setelah menikah. Berusaha mencari penghidupan yang layak. Sementara mereka yang tidak punya penghasilan lebih tetap tinggal di kampung yang luasnya kurang dari dua hektare tersebut.
Kampung Onggoboyo ini sebenarnya tak jauh dari kantor Kecamatan Ngancar. Sekitar satu kilometer saja. Namun, akses menuju kampung ini hanya ada jalan tanah yang berdebu. Yang di kiri kanannya berdiri tanaman tebu. Bila ditempuh dari Desa Babadan jaraknya lebih dekat lagi. Hanya 600 meter saja jauhnya.
Meski sebenarnya jarak perkampungan ke pusat pemerintahan desa dan kecamatan tidak terlalu jauh, warga yang menetap di Kampung Onggoboyo itu belum merdeka sepenuhnya. Salah satu contohnya, mereka belum mendapatkan aliran listrik dari perusahaan milik negara. Kalaupun ada listrik yang mengaliri rumah-rumah itu, asalnya dari solar cell atau listrik tenaga surya.
“Bantuan dari Bu Haryanti (Bupati Kediri waktu itu, Red),” kenang Supanji Pria berusia 49 ini bukan penduduk asli Kampung Onggoboyo. Dia adalah warga Malang yang menikah dengan perempuan dari Kampung Onggoboyo.
Supanji sudah 22 tahun tinggal di kampung ini. Tapi dia baru merasakan listrik tenaga surya itu pada 2014. Sebelumnya, penerangan hanya mengandalkan lampu minyak.
Kini, benda persegi empat yang diletakan di atas genting itu sudah menua. Kekuatannya juga telah menurun. Tinggal 50 persen dari kekuatan awal. Kemampuan solar cell itu hanya bisa dipakai untuk menghidupkan dua lampu saja. Tidak bisa untuk kebutuhan lainnya. Bila ingin menambah kemampuan, warga harus menggunakan genset.
Sayangnya, biaya pengeluaran untuk genset tidak murah. Bensin senilai Rp 10 ribu hanya bisa bertahan tiga jam. Nah, jika setiap hari menggunakan genset maka dalam satu bulan pengeluarannya bisa mencapai Rp 300 ribu. “Pengeluarannya lebih besar dari pada PLN,” keluh kakek satu cucu itu kepada Jawa Pos Radar Kediri.
Apa yang disampaikan Supanji itu diamini pula oleh ketua RT-nya, Suwanti. Pria 52 tahun itu mengatakan, rencana listrik masuk di kampungnya itu sudah dilakukan sejak lama. Tapi selalu gagal. Yang bisa dibantu hanya solar cell.
Kendala listrik tidak bisa masuk ke sana adalah lahan yang ditempati belasan KK itu adalah tanah milik PTPN X. “Kami yang tinggal di sini bekerja sebagai buruh tani di lahan tebu (milik PTPN X, Red),” ujarnya. Kalau lahannya memang milik perusahaan.
Terpisah Manager Keuangan dan Umum PG Ngadirejo Sugiharto membenarkan, bila lahan yang ditempati belasan warga di Kampung Onggoboyo itu adalah milik PTPN X. Terkait dengan alasan belum masuknya listrik ke Onggoboyo disebabkan karena belum ada komunikasi yang final antara PTPN X dan Pemkab Kediri.
“Dulu memang ada yang masuk, kalau tidak salah dari dinas perdangan,” katanya.
Tapi hasil akhirnya tidak jelas. Selain komunikasinya tidak fix, Sugiharto juga mengklaim lahan yang dilewati listrik nanti bisa mengubah status jalan yang dilewati menjadi fasilitas umum (fasum). Karena saat itu, PG Ngadirejo menunggu keputusan dari PTPN X jika Pemkab Kediri berkeinginan memasukan listrik ke Kampung Onggoboyo.