22.3 C
Kediri
Sunday, May 28, 2023

Peduli Anak Berkebutuhan Khusus, Sumiyatun Tergerak Dirikan SLB

Melihat banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) di lingkungan rumahnya tak bisa mengakses pendidikan yang layak, hati Sumiyatun tergerak. Kepala SDN Pesantren 2 Kota Kediri ini pun mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Desa Turus, Gurah. 

 

ILMIDZA AMALIA NADZIRA, Kabupaten.JP Radar Kediri

Jarum jam menunjukkan pukul 10.00, Kamis (25/11) lalu. Sejumlah anak terlihat bersiap masuk ke SLB Dharma Putra Daha di Jl Mawar, Desa Turus, Gurah. Tak memakai seragam, anak laki-laki dan perempuan itu langsung menuju samping halaman SLB.

          Sejurus kemudian, salah satu anak membeber kain berwarna merah. Selanjutnya, satu siswa lainnya menyalakan kompor untuk memanaskan malam dan mulai membatik.  

          Melihat anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) itu asyik berkreasi, Sumiyatun yang tak lain adalah kepala SLB Dharma Putra Daha hanya menyaksikan dari jarak beberapa meter. Sesekali dia mengarahkan dengan gerakan tangan dan suara yang sedikit kencang.

          Maklum saja, di antara anak yang sibuk membatik itu ada penyandang bisu tuli. Sehingga, dia harus mengarahkan dengan gerakan tangan khusus. “Saya berusaha seminimal mungkin mengarahkan agar mereka belajar mandiri,” ujar Sumiyatun tersenyum senang melihat anak didiknya asyik membatik.

Baca Juga :  Ekspedisi Serinjing, Telusur Sejarah Terbentuknya Kediri (7)

          Perkembangan anak-anak itu menurut Sumiyatun tergolong pesat. Sebelumnya mereka tidak mengenyam pendidikan secara khusus. Kondisi itu pula yang membuatnya iba.

          Perempuan berusia 54 tahun itu lantas menceritakan ihwal pendirian SLB. Tak ubahnya anak-anak yang harus menyesuaikan diri dengan kurikulum di sekolah, dia juga harus berjuang ekstra keras untuk bisa mewujudkan SLB tersebut. 

          Bukan sekadar tenaga semata. Melainkan juga harus berkorban dari sisi finansial. “Alhamdulillah suami juga mendukung. Jadi kami tetap semangat,” lanjutnya.

          Apalagi, mendirikan SLB merupakan impian Sumiyatun sejak duduk di bangku kuliah. Karenanya, usai mendirikan SLB Bhakti Pemuda di Desa Bulupasar, Pagu bersama sang suami saat masih pacaran, dirinya tergerak untuk mendirikan SLB di desanya.

          Awal mendirikan SLB pada 1990 silam, Sumiyatun dan suaminya harus mengencangkan ikat pinggang. Bahkan, Sumiyatun dan suaminya harus menyisihkan sebagian gajinya sebagai guru untuk membayar para tenaga pendidik di SLB.

Baca Juga :  Komunitas Film Pelajar Kota Angin Tetap Berkarya di Masa Pandemi

           Jika sekarang dia dan suaminya sudah berstatus PNS, kala itu baru suaminya yang resmi menjadi pegawai negara. Sedangkan Sumiyatun baru diangkat PNS pada 1993. “Jadi ya berat. Untungnya ada usaha sapi perah yang bisa menopang,” kenangnya.

          Dengan kondisi keuangan yang seadanya, Sumiyatun tidak berpikir untuk mencari untung. Murid-muridnya juga digratiskan. Dia mengaku cukup senang melihat anak didiknya memiliki keterampilan untuk hidup mandiri.

          Seiring berjalannya waktu, Sumiyatun bersyukur jumlah siswa di sana terus bertambah. Kini ada 100 siswa yang mengenyam pendidikan di sana.

“Saya memang sengaja mendirikan di wilayah sini karena sekolah SLB kebanyakan di kota. Jauh dari jangkauan anak-anak berkebutuhan khusus di sini,” urainya sembari membeber jenis keterampilan membatik, tata rias, tata boga, fashion, hingga seni musik dan pertanian yang diajarkan di sana. (ut)

 

 

 

Melihat banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) di lingkungan rumahnya tak bisa mengakses pendidikan yang layak, hati Sumiyatun tergerak. Kepala SDN Pesantren 2 Kota Kediri ini pun mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Desa Turus, Gurah. 

 

ILMIDZA AMALIA NADZIRA, Kabupaten.JP Radar Kediri

Jarum jam menunjukkan pukul 10.00, Kamis (25/11) lalu. Sejumlah anak terlihat bersiap masuk ke SLB Dharma Putra Daha di Jl Mawar, Desa Turus, Gurah. Tak memakai seragam, anak laki-laki dan perempuan itu langsung menuju samping halaman SLB.

          Sejurus kemudian, salah satu anak membeber kain berwarna merah. Selanjutnya, satu siswa lainnya menyalakan kompor untuk memanaskan malam dan mulai membatik.  

          Melihat anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) itu asyik berkreasi, Sumiyatun yang tak lain adalah kepala SLB Dharma Putra Daha hanya menyaksikan dari jarak beberapa meter. Sesekali dia mengarahkan dengan gerakan tangan dan suara yang sedikit kencang.

          Maklum saja, di antara anak yang sibuk membatik itu ada penyandang bisu tuli. Sehingga, dia harus mengarahkan dengan gerakan tangan khusus. “Saya berusaha seminimal mungkin mengarahkan agar mereka belajar mandiri,” ujar Sumiyatun tersenyum senang melihat anak didiknya asyik membatik.

Baca Juga :  Kisah Relawan Penjaga ‘Lintasan Maut’ di Kediri

          Perkembangan anak-anak itu menurut Sumiyatun tergolong pesat. Sebelumnya mereka tidak mengenyam pendidikan secara khusus. Kondisi itu pula yang membuatnya iba.

          Perempuan berusia 54 tahun itu lantas menceritakan ihwal pendirian SLB. Tak ubahnya anak-anak yang harus menyesuaikan diri dengan kurikulum di sekolah, dia juga harus berjuang ekstra keras untuk bisa mewujudkan SLB tersebut. 

          Bukan sekadar tenaga semata. Melainkan juga harus berkorban dari sisi finansial. “Alhamdulillah suami juga mendukung. Jadi kami tetap semangat,” lanjutnya.

          Apalagi, mendirikan SLB merupakan impian Sumiyatun sejak duduk di bangku kuliah. Karenanya, usai mendirikan SLB Bhakti Pemuda di Desa Bulupasar, Pagu bersama sang suami saat masih pacaran, dirinya tergerak untuk mendirikan SLB di desanya.

          Awal mendirikan SLB pada 1990 silam, Sumiyatun dan suaminya harus mengencangkan ikat pinggang. Bahkan, Sumiyatun dan suaminya harus menyisihkan sebagian gajinya sebagai guru untuk membayar para tenaga pendidik di SLB.

Baca Juga :  Hanya 10 Jam, 2 Orang di Kediri Tewas di Jalanan

           Jika sekarang dia dan suaminya sudah berstatus PNS, kala itu baru suaminya yang resmi menjadi pegawai negara. Sedangkan Sumiyatun baru diangkat PNS pada 1993. “Jadi ya berat. Untungnya ada usaha sapi perah yang bisa menopang,” kenangnya.

          Dengan kondisi keuangan yang seadanya, Sumiyatun tidak berpikir untuk mencari untung. Murid-muridnya juga digratiskan. Dia mengaku cukup senang melihat anak didiknya memiliki keterampilan untuk hidup mandiri.

          Seiring berjalannya waktu, Sumiyatun bersyukur jumlah siswa di sana terus bertambah. Kini ada 100 siswa yang mengenyam pendidikan di sana.

“Saya memang sengaja mendirikan di wilayah sini karena sekolah SLB kebanyakan di kota. Jauh dari jangkauan anak-anak berkebutuhan khusus di sini,” urainya sembari membeber jenis keterampilan membatik, tata rias, tata boga, fashion, hingga seni musik dan pertanian yang diajarkan di sana. (ut)

 

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/