Enam desa wisata di Jatim baru saja mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf). Mereka masuk 50 besar dalam perhelatan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021. Ajang penilaian bagi desa-desa wisata yang digelar oleh kementerian yang dikomandoi Sandiaga Uno tersebut.
Sayang, dari keenam desa wisata tersebut, tak ada desa-desa wisata dari wilayah Kediri dan Nganjuk. Padahal, Kabupaten Kediri misalnya, memiliki puluhan desa yang telah memproklamasikan diri sebagai desa wisata. Bahkan, salah satunya -Desa Jambu di Kecamatan Kayenkidul-juga telah sering mengikuti beragam even nasional. Sayang, desa-desa wisata di Kabupaten Kediri kalah oleh Kampung Blekok Situbondo, Desa wisata Sanankerto Malang dengan boonpringnya, Kampung Mojopahit Bejijong, Desa Wisata Tamansari Banyuwangi, Desa Wisata Ranupane Lumajang, dan Desa Wisata Serang Blitar/
Mengapa? Memahami konsep desa wisata adalah salah satu kekurangan desa wisata (desta)-desta itu. Pengelola desta, yang mayoritas tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) kurang pas dalam memahami konsep desa wisata. Sebab, desa wisata tidak hanya sekadar membuat destinasi wisata di desa. Kalau hanya membuat ramai kunjungan karena adanya destinasi wisata maka bukan desa wisata namanya. Melainkan hanya membuat wisata (di) desa.
Lalu, apa yang seharusnya para pengelola desta di Kediri dan Nganjuk lakukan? Sebenarnya, sebagian desta sudah mulai menerapkannya. Namun, konsistensi dan kebersinambungannya itu yang belum tercipta. Terutama dalam menumbuhkan desta yang bertumpu pada potensi asli dan kearifan local desa setempat.
Berkaca pada mereka yang terpilih, ada bebera hal yang mungkin agak terlupakan oleh para pengelola desta. Yaitu penonjolan pada potensi asli desa serta kearifan lokal. Desa Wisata Ranupane misalnya, memiliki amfiteater yang bisa menggelar kesenian rakyat dan aneka pertunjukan budaya. Boonpring di Sanankerto Malang juga menumbuhkan ekonomi kreatif berbasis potensi bambu yang ada di desa tersebut. Dan, yang menjadi catatan, aktivitas itu memang massif dan suistanable. Artinya, benar-benar menjadi potensi pendapatan warga. Bukan sekadar sebagai tampilan kosmetik untuk mempercantik desta saja.
Karena itu, para pengelola desta sudah saatnya benar-benar memahami poin-poin penilaian dalam ADWI ini. Sebab, Kemenkraf memiliki tujuh kriteria yang akan dinilai. Yaitu penerapan cleanliness, healthy, safety, an environmental suistainable (CHSE), desa digital, souvenir (kuliner, fashion, dan kriya), daya tarik wisata (alam, budaya, buatan), konten kreatif, homestay, dan toilet. Tinggal sekarang para pengelola desta bisa mengevaluasi tempatnya masing-masing, apakah sudah masuk kriteria desa wisata atau hanya sekadar wisata desa?(*)