Perjuangan Teguh Rahayu menjadi santri yang mandiri memang tak semudah membalik telapak tangan. Jatuh bangun dalam berwirausaha saat di pondok pesantren menjadi pengalaman berharga bagi pria 28 tahun ini.
Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Sumbersari, Desa Kencong, Kecamatan Kepung ini pun memanfaatkan era modern untuk berwirausaha. Yang awalnya berjualan handphone secara online saat masih sekolah, hingga kini mempunyai kios sendiri untuk berjualan.
Bisnis handphone yang dilakoni Teguh dimulai pada kelas XI di bangku madrasah aliyah. Saat itu karena keadaan mendesak. Orang tua yang biasa mengirimi biaya hidup rutin mulai tak menentu dalam memberi jatah. Hal tersebut membuatnya memutar otak. Mencari tambahan biaya dengan cara berbisnis. Teguh mengaku tak ingin hanya membebankan biaya hidup kepada orang tua.
“Ya kalau pas orang tua ada, tapi kalau pas tidak ada ya harus bisa cari usaha sendiri,” kata Teguh saat ditemui di konter miliknya.
Sebelum bisnis handphone, Teguh mengawalinya dengan berjualan buah-buahan di area pondok. Itu dengan cara dititipkan ke warung-warung yang ada di area pondok pesantren. Teguh mencari dagangan ke Pare. Itu pun dilakukan dengan naik sepeda angin.
“Saat masih MTs, pulang sekolah sekitar jam 12 siang berangkat ke Pare cari buah-buahan,” ingat pria kelahiran Jepara tersebut.
Teguh harus bisa mengatur waktu. Sebab, pukul 15.00, ia harus berada di pondok. Menjadi santri di ndalem, ia harus benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Sekitar dua tahun ia menjalani aktivitas tersebut. Hingga akhirnya, Teguh kenal dengan bisnis online. Awalnya, ia memanfaatkan internet untuk mengunggah handphone yang akan ia jual di salah satu situs jual beli barang secara online. Tepatnya pada 2013, saat teknologi mulai berkembang pesat.
“Awalnya COD di depan Matos Malang. Saat itu pembelinya minta tukar tambah dengan HP merk lain,” kenangnya sembari menjelaskan saat itu ia ke Malang dalam kondisi hujan lebat.
Berawal dari hal itulah Teguh mulai tertarik dengan usaha ini. Ia bisa membiayai kuliahnya dengan berjualan handphone. Usahanya itu mendapat dukungan penuh dari rekan-rekan dan kerabatnya. “Alhamdulillah semakin berkembang. Dulu cuma buat sampingan saja, tidak kepikiran sampai punya konter sendiri,” ungkap santri yang mondok sejak 2004 tersebut.
Perjuangan untuk mengembangkan bisnis handphone tak mudah. Ia belajar mulai dari nol. Sering ia mendapat barang yang tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan. “Katanya normal. Ya saya beli, tapi ternyata setelah dari rumah ada kerusakan,” ujar lulusan program studi Ahwal Syakhshiyyah Institut Agama Islam Faqih Asy’ari tersebut.
Dari pengalaman itu, Teguh mulai belajar. Selain belajar teknologi, ia juga belajar cara pemasaran dan bernegosiasi.
Menariknya, karena awalnya tak memiliki kios, suami Umdatul Faizah ini kerap ditanya pelanggan dari luar kota. Sebab, orang luar kota yang mencari handphone di tempatnya, selalu mencari alamat toko Mata Phone yang menjadi brandingnya. Padahal saat itu ia masih tinggal di asrama kampus. “Akhirnya saya memberanikan diri untuk sewa kios di tepi jalan,” ucapnya.
Dari kerja kerasnya hampir sepuluh tahun ini, kini Teguh telah memetik berkahnya. Terakhir, ia bisa mengumpulkan dana untuk menikah pada akhir Agustus lalu. Termasuk ia bisa membantu orang tua dan memiliki kendaraan sendiri. “Tunggakan selama kuliah juga bisa dilunasi dari hasil ini,” imbuh pria kelahiran 1991 ini.
Kiosnya yang ada di Jalan Pare-Kandangan kini telah memiliki pelanggan tetap. Rata-rata dari luar kota, mulai Jombang, Blitar, Kertosono, Nganjuk, Tulungagung, bahkan sampai Surabaya. Teguh juga memiliki rekan yang kini bisa membantu menjaga kios miliknya itu. Teguh juga telah lulus kuliah, menjadi santri yang menjadi inspirasi di lingkungan pondok pesantrennya. Santri yang bisa memanfaatkan era digital untuk mengais rezeki. Tentu hal yang patut diapresiasi untuk semangat anak-anak milenial saat ini.